Sumber: wagingnonviolence.orgBebas (freedom) adalah bebas. Kebebasan yang masih diberi pagar “tapi” bukanlah kebebasan. Bebas tapi bertangung jawab. Bebas tapi tidak boleh ini dan itu, bukanlah bebas. Dalam konteks ini, ungkapan bahwa pers Indonesia bebas dan bertanggung jawab menjadi tidak relevan karena antara bebas (kebebasan) dan tanggung jawab adalah dua hal berbeda sehingga tidak bisa dijadikan satu kesatuan yang harus dilakukan secara bersama-sama.
Jurnalis atau wartawan bebas untuk melakukan kegiatan jurnalistik dan menuangkan hasil liputannya dalam sebuah tulisan yang memenuhi standar dan kaidah yang berlaku. Sepanjang sudah memenuhi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), maka jurnalis tidak bisa dituntut lagi untuk bertanggung jawab atas berita atau karya jurnalistik tersebut.
Dalam bekerja, seorang jurnalis tidak perlu dibebani tanggung jawab lain di luar yang sudah ditentukan dalam kode etik. Sebab seringkali imbuhan “tanggung jawab” yang diletakkan setelah kata ‘bebas’, menjadi momok yang menakutkan. Masyarakat dengan mudah menuduh wartawan tidak memiliki tanggung jawab manakala sebuah karya jurnalistiknya dianggap menjadi penyebab keretakan hubungan rumah tangga, terganggunya hubungan kerja dalam suatu instansi, atau bentrokan di tengah masyarakat.
Manakala pihak-pihak yang dirugikan merasa berita tersebut tidak berimbang, fitnah, provokatif, atau hal-hal lain, kewenangan untuk menilainya ada di Dewan Pers. Jika memang terbukti telah terjadi pelanggaran terhadap kode etik, sanksi akan diberikan oleh organisasi tempat wartawan tersebut bernaung. Sanksi juga bisa diberikan oleh perusahaan pers tempatnya bekerja.
Dari pemahaman itu, maka tidak layak ketika jurnalis dilaporkan ke polisi dan diperiksa berdasarkan ketentuan pasal-pasal pidana dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Sebab sudah ada perundang-undangan yang bersifat lex specialis yakni Undang Undang Nomor 40 Tahun 199 tentang Pokok Pokok Pers.
Sumber: teraslampung.com
Sayangnya, beberapa pihak masih belum sepakat menempatkan UU Pers sebagai undang-undang khusus (specialis). Dasar argumentasinya, UU Pers belum memuat pasal pidana (penjara). Pasal denda yang dimungkinkan dianggap belum memadai. Artinya ada dorongan kuat sebagian anggota masyarakat untuk memenjarakan jurnalis yang dianggap merugikan dirinya atau kelompoknya. Mirisnya, beberapa wartawan senior ikut mengamini keinginan tersebut sehingga usulan dimasukkannya pasal pidana ke dalam UU Pers sempat mengemuka dan dibawa ke DPR untuk direvisi.
Padahal jurnalis/wartawan adalah profesi, suatu pekerjaan yang dilakukan dengan keahlian tertentu, memiliki asosiasi, kode etik dan serta sertifikasi atas keahliannya, sebagaimana dokter, pengacara, dll. Dengan demikian, manakala dianggap melakukan pelanggaran yang berkaitan dengan pekerjaannya, hanya bisa diadili dan dihukum dengan peraturan yang menaungi dan mengatur profesi tersebut.
Keberhasilan para dokter memenangkan judicial review terhadap pasal 76 dan 79 UU Kedokteran yang membuka celah pemidanaan terhadap dokter, mestinya menjadi pegangan semua pihak, terutama wartawan, untuk menolak masuknya pasal pidana ke dalam UU Pokok Pers. Meski wacana revisi UU No 40/1999 sudah tidak terdengar lagi, namun bukan mustahil akan kembali dihidupkan jika ada "pihak kuat" yang merasa dirugikan oleh sebuah karya jurnalistik.
Untuk itu seluruh wartawan Indonesia harus kompak menyerukan bahwa UU Nomor 40/1999 adalah undang-undang bersifat lex specialis meski tidak memuat pasal penjara!
Selamat Hari Kebebasan Pers Sedunia