Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Negara ini pernah dikendalikan oleh para pejabat korup yang bekerjasama dengan pengusaha hitam. Kita kehilangan banyak waktu dan sumber daya sehingga tertinggal dari negara-negara lain akibat ulah para koruptor. Dalam kondisi darurat korupsi seperti sekarang ini, kita sepakat menempatkan koruptor sebagai musuh bersama. Tidak salah jika pemerintah memanfaatkan seluruh kekuatan yang ada untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Terkait langkah-langkah tersebut, Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) Letjen TNI (Purn) Sutiyoso mengaku mendapat mandat khusus dari Presiden Joko Widodo untuk memburu dan menangkap para koruptor yang menjadi buronan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Hasilnya, dua koruptor yang sudah diputus bersalah dan memiliki kekuatan hukum tetap (inkrah), berhasil ditangkap oleh BIN dan dipulangkan ke Indonesia. Pertama adalah Toto Ari Prabowo, mantan bupati Temanggung yang ditangkap di Kamboja pada November tahun lalu. Terdakwa kasus korupsi dana bantuan pendidikan untuk putera puteri anggota dewan tahun 2004 yang merugikan keuangan negara sebesar Rp2,089 miliar itu ditangkap setelah sempat buron selama lima tahun.
Kedua, penangkapan terhadap buronan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Samadikun Hartono di China. Koruptor yang sudah divonis empat tahun penjara plus diwajibkan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 169 miliar dan denda Rp 20 juta itu ditangkap sesaat sebelum menonton balapan F1 di Shanghai yang diikuti Rio Haryanto. Mantan Komisaris Utama Bank Modern itu sudah masuk dalam daftar buronan Kejaksaan Agung sejak 2003 lalu.
Tentu apa yang dilakukan BIN tersebut merupakan prestasi yang patut diapresiasi. Terlebih masih banyak sekali koruptor yang bebas berkeliaran di luar negeri.
Namun apa yang dilakukan BIN juga menyisakan tanda tanya besar. Mengapa harus BIN yang melakukan penangkapan secara langsung terhadap para buronan tersebut? Dari cerita Sutiyoso, setelah berhasil mendeteksi keberadaan Samadikun Hartono, dia mengirim anggota BIN untuk memantau pergerakkannya. Setelah memastikan posisinya, BIN lantas berkoordinasi dengan aparat keamanan setempat yang kemudian melakukan penangkapan. Karena waktu yang dimiliki aparat keamanan setempat untuk menahan Samadikun Hartono hanya tujuh hari, Presiden Joko Widodo langsung memerintahkan Sutiyoso- yang saat itu berada di London, untuk segera menjemput Samadikun Hartono dan membawanya ke Indonesia.
Dari cerita tersebut, timbul pertanyaan, mengapa Sutiyoso tidak melaporkan keberadaan Samadikun Hartono kepada Kejaksaan Agung sebagai pihak yang paling berwenang untuk melakukan penangkapan? Mengapa pihak keamanan China melakukan koordinasi dengan Sutiyoso, bukan National Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia (Polri) sebagai pihak yang mengeluarkan red nitice atas permintaan Kejaksaan Agung? Apakah BIN termasuk anggota NCB?
Sekali lagi ditegaskan, kita sepakat korupsi adalah kejahatan luar biasa sehingga diperlukan penanganan yang luar biasa. Namun bukan berarti membiarkan terjadinya tumpang tindih (overlapping) kewenangan antar lembaga. Sebab sudah beberapa kali BIN melakukan tugas di luar tupoksinya. Keberhasilan BIN memaksa Din Minimi atau Nurdin Bin Ismail- pemimpin gerakan bersenjata di Aceh, turun gunung beberapa lalu sempat menimbulkan ketegangan karena perundingan yang dilakukan Sutiyoso dengan Din Minimi tidak melibatkan pihak kepolisian. Saat itu Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti sempat mengatakan akan tetap memproses Din Minimi secara hukum meski telah ada kesepakatan dengan BIN.
Bahwa akhirnya polisi tidak jadi memproses pimpinan kelompok bersenjata yang menyerahkan diri bersama 120 anggotanya, namun publik sudah terlanjur melihatnya adanya ‘ketersinggungan’ pihak lain akibat sikap BIN yang dianggap overlapping.
Kita mengapresiasi kinerja BIN, tetapi kita tidak bisa mentolerir adanya operasi yang dilakukan suatu lembaga di luar tupoksinya. Sebab BIN adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang bertugas di bidang intelijen, sehingga operasi penangkapan di luar kewenangannya. Mestinya data yang dimiliki BIN diberikan kepada lembaga terkait, bukan dieksekusi sendiri oleh BIN. Kinerja BIN harus tetap undercover, tidak muncul ke permukaan. Kasus unggah SK pengangkatan Banyu Biru sebagai anggota Dewan Informasi Strategis & Kebijakan (DISK) Badan Intelijen Negara (BIN) di akun Path miliknya, adalah contoh bagaimana seorang anggota intelejen tidak paham akan tupoksinya.
Ada hal yang sangat miris andai kita melakukan pembiaran terhadap apa yang dilakukan BIN terkait penangkapan buronan korupsi dan juga berunding langsung dengan kelompok bersenjata. Situasi ini mengingatkan kita ke zaman Soeharto. Pada masa itu, BIN yang masih bernama Komando Intelejen Negara (KIN) sebelum kemudian diubah menjadi Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN), digunakan Soeharto untuk menopang kekuasaannya sehingga bisa melakukan operasi langsung di lapangan. KIN atau BAKIN bisa langsung membubarkan suatu kegiatan yang dinilai merongrong kewibawaan pemerintah (baca: Soeharto) tanpa koordinasi dengan lembaga lainnya.
Masyarakat di zaman Orde Baru memiliki ketakutan yang luar biasa terhadap intel-intel ini. Sebab mereka akan sangat subjektif dalam menilai suatu kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Jika menurut mereka melanggar aturan (kadang aturan itu dibuat sendiri oleh mereka di lapangan) para intel ini bisa langsung bertindak. Bahkan masyarakat pun tidak berani berbincang-bincang di warung kopi dengan tema sedikit menjurus ke wilayah politik karena takut langsung diciduk intel.