Geger reklamasi pantai utara Jakarta sudah merambah lintas sektoral, lintas lembaga dan juga lintas paham politik. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin isu reklamasi akan berkembang menjadi isu kelas sosial dan yang paling menakutkan menjadi isu primordialisme. Tanda-tanda ke arah itu sudah kencang berhembus karena reklamasi di teluk Jakarta dilakukan oleh dan untuk kelompok tertentu sambil menggusur kelompok lainnya. Silahkan diperdebatkan, tetapi sulit dibantah jika penggusuran warga miskin di Angke, Luar Batang dan sekitarnya tidak memiliki keterkaitan dengan reklamasi di seberangnya.
Awalnya penentangan terhadap reklamasi teluk Jakarta murni hanya pada isu lingkungan. Penimbunan laut untuk membuat 17 pulau baru seluas 5.153 hektar yang berbaris sepanjang 32 kilometer dari ujung barat ke timur, dikuatirkan akan menghalangi aliran air sungai dari hulu ke muara. Pasir yang terbawa air sungai akan mengendap di hilir sehingga terjadi sedimentasi yang terus-menerus. Akibatnya akan terjadi pendangkalan sungai terutama yang berada di Jakarta.
Reklamasi juga menghancurkan kehidupan biota laut dan batu karang yang menyangga daratan Jakarta sehingga ribuan nelayan yang selama ini menggantungkan hidupnya dari teluk Jakarta dipaksa untuk melaut ke daerah lain yang lebih jauh. Pemindahan penduduk ke rusun sewa bukan solusi. Di samping terjadinya evolusi sosial secara mendadak- manusia laut menjadi manusia ‘burung’, mereka pun kehilangan mata pencaharian secara mendadak dan dipaksa harus menghasilkan uang untuk membayar sewa rusun setiap bulan, selama hidup. Rusun itu harus ditinggalkan ketika mereka tidak sanggup lagi membayar uang sewa. Berapa lama waktu yang diberikan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) untuk mempersiapkan perubahan sosial itu? 15 hari. Bahkan untuk daerah Kalijodo hanya seminggu! Inikah yang disebut solusi? Inikah yang diagung-agungkan bahwa Pemerintah DKI sudah sangat memanusiakan mereka yang digusur karena telah memberi rusun?
Benarkah tanah yang mereka tempati milik negara? Andai pun milik negara, luasnya tidak sampai 1 persen dari luas tanah negara yang dijarah pengusaha untuk bisnis. Mengapa hanya pengusaha, hanya cukong properti boleh memiliki tanah negara, tanpa harus membelinya? Mau bukti? Lihat tanah Kemayoran eks bandara. Perusahaan-perusahaan properti raksasa dengan mudahnya mendapat izin kepemilikan tanpa membelinya, kecuali membayar uang Hak Guna Usaha (HGU) untuk waktu 30 tahun dan bisa terus diperpanjang. Artinya mereka mendapatkan tanah negara tanpa perlu membelinya. Belum lagi tanah-tanah negara yang dikuasai para pengusaha untuk mall, hotel dan pusat-pusat perkantoran di seantero Jakarta. Silahkan buka sejarah tanah mall Taman Anggrek, superblok Thamrin City, Senayan City, hotel Century Park dan lain-lain.
Jika para pengusaha bisa mendalilkan bahwa tanah negara yang sudah dikuasai bisa dimohonkan menjadikan hak milik sesuai Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9/1999, mengapa masyarakat Jakarta yang sudah beberapa generasi menempati suatu wilayah dengan mudahnya digusur tanpa memberi bimbingan agar tanah tersebut menjadi hak miliknya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga mereka tidak lagi menjadi pemukim liar? Mengapa Ahok tidak mau berbelas-kasihan sedikipun dengan memberi kelonggaran waktu agar mereka siap secara mental melakukan transformasi diri dari manusia laut menjadi manusia burung? Mengapa Pemprov DKI Jakarta selalu menjadikan warga miskin sebagai target gusuran, sementara pada saat bersamaan mengerahkan segala kekuatan, segala argumen, untuk membenarkan terjadinya penjarahan tanah dan laut oleh pengusaha tertentu?
Jakarta yang rapi, tertib dan modern menjadi dambaan kita semua. Namun Jakarta yang elitis, yang hanya bisa didiami oleh kelompok berduit, mencederai rasa keadilan. Adalah tugas negara yang diimplementasikan dengan kebijakan para pemimpinnya, untuk mengentaskan kemiskinan yang membelit rakyatnya. Ingat, mereka yang saat ini hidup dalam kemiskinan, bukan tidak mungkin akibat kesalahan kebijakan negara, bukan karena kemalasan dan kebodohan saja. Jadi buang jauh-jauh pikiran untuk menyingkirkan orang miskin hanya karena mereka dianggap membuat kumuh kota, merusak pemandangan, membuat orang-orang kaya tersedak saat minum bir sambil nonton tarian telanjang. Mereka rakyat Indonesia, pemilik sah negeri ini yang juga membayar pajak. Tetapi memang mereka tidak bisa memberikan upeti seperti bos properti.
Kembali pada soal reklamasi. Salah besar ketika mengatakan reklamasi teluk Jakarta ramai karena Ahok. Reklamasi dengan tujuan komersial, bukan untuk kepentingan bersama pasti ditentang. Lihatlah apa yang terjadi pada reklamasi Teluk Benoa di sisi tenggara Pulau Bali, tepatnya di Pulau Pudut. Masyarakat Bali juga menentangnya karena pengusaha – PT Tirta Wahana Bali Internasional, merubah teluk yang selama ini daerah tumbuh-kembangnya biota laut dan gantungan hidup masyarakat setempat, menjadi area wisata yang menguntungkan segelintir orang. Masyarakat Jakarta dan para pemerhati lingkungan, juga sudah lama menyuarakan penentangan terhadap reklamasi teluk Jakarta, jauh sebelum Ahok menjadi bupati di Belitung Timur. Eskalasi penentangan juga marak saat era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Jika tidak ada yang meributkan saat Gubernur Fauzi Bowo menandatangani izin prinsip reklamasi teluk Jakarta, hal itu semata-mata ketidaktahuan masyarakat karena waktunya sudah menjelang yang bersangkutan turun jabatan. Sama seperti reklamasi Kawasan Berikat Nusantara (KBN) di Marunda yang tidak sempat diributkan masyarakat karena disamping luasnya hanya 12 hektar- meski luas bukan ukuran prinsip dalam menentang reklamasi, dalam proses KBN juga tidak disertai gusuran masif terhadap warga sekitarnya.
Dari fakta-fakta itu, jauhkan pikiran bahwa penentangan terhadap reklamasi teluk Jakarta semata-mata karena Ahok yang Kristen dan China. Jangan anggap semua yang tidak setuju dengan kebijakan Ahok itu pasti rasis, pelacur, koruptor.
Jika saat ini Isu reklamasi menjadi saat masif dengan pelibatan luas masyarakat, semata-mata karena proses reklamasi sudah dilakukan tanpa mengindahkan peraturan yang ada. Di era Pak Harto sampai Fauzi Bowo, belum ada aktifitas penimbunan laut. Belum ada warga miskin di pesisir utara Jakarta yang digusur. Jadi wajar jika saat ini isu reklamasi lebih marak dibanding zaman Fauzi Bowo. Di zaman itu juga belum ada pengusaha properti yang menyuap anggota DPRD agar membuat peraturan untuk membenarkan tindakannya. Saat itu belum ada pengusaha yang dengan beraninya membangun kompleks pertokoan dan hunian di atas pulau reklamasi padahal peraturannya belum ada. Mengapa para taipan properti berani melakukan itu? Salah satu sebabnya karena mereka merasa punya beking, merasa sudah memberikan banyak upeti untuk membangun Jakarta sehingga sangat yakin peraturan akan mengikuti kemauan mereka, bukan mereka yang mengikuti peraturan.
Lalu di mana Presiden Joko Widodo (Jokowi ) saat ini ketika kasus reklamasi sudah menjalar lintas segalanya, dan masuk ke ranah hukum? Benarkah klaim Ahok bahwa Jokowi mendukung langkahnya dalam kasus reklamasi teluk Jakarta?
Presidenku, bicaralah sebelum kegaduhan di ruang-ruang diskusi ini merembet menjadi kegaduhan sosial.