Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

DPRD Tunda Pembahasan Raperda Reklamasi, Ahok Gusar, Aguan Merana

Diperbarui: 13 April 2016   08:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lama-lama publik mulai terbiasa dengan pernyataan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama yang berubah-ubah terhadap satu kasus. Ada banyak contoh yang bisa dijadikan alas argumen.  Soal kulit kabel di gorong-gorong,  status Sunny Tanuwidjaja, dan terakhir terkait raperda reklamasi.

Khusus terkait rancangan peraturan daerah (Raperda) Rencana Zonasi dan Wilayah Pesisir Pantai Utara (RZWP3K) serta revisi Perda Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Pantura Jakarta, perubahan sikap Ahok- demikian sapaan akrab Basuki Tjahaya Purnama, sangat mengejutkan karena bertolak belakang antara pernyataan sebelum dan sesudah DPRD DKI Jakarta memutuskan untuk menunda pembahasan kedua raperda tersebut.

Awalnya, menanggapi usulan sejumlah anggota DPRD, terutama Fraksi PDI Perjuangan, yang  menghendaki agar pembahasan raperda tersebut ditunda, Ahok pada tanggal  6 April 2016 mengatakan tidak ada masalah. Bahkan secara tegas Ahok mengatakan  lanjutan pembahasan raperda dimaksud akan menunggu anggota DPRD baru hasil Pemilu 201. 

Pernyataan itu jelas tegas dan  menunjukkan betapa Ahok sangat konsisten tidak mau melakukan kompromi atau lobi-lobi dengan anggota DPRD sekarang terkait raperda reklamasi. Padahal, dalam pola hubungan antara eksekutif dan legisltaif dikenal dikenal dengan yang namanya lobi-lobi dan kompromi politik. Namun Ahok mengingkari keniscayaan itu karena lobi dan kompromi selalu diidentikkan dengan uang. Fakta bahwa sebagain besar hal itu memang terjadi, mestinya bukan alasan untuk menyamaratakannya. 

Bagaimana pun jabatan gubernur dan anggota DPRD adalah jabatan politik sehingga terhadap perbedaan pandangan yang muncul dalam sebuah permasalahan yang membutuhkan sinergi kedua lembaga, mestinya kedua pihak bisa menggunakan saluran-saluran politik yang memang disediakan untuk menjembatani perbedaan tersebut.

Namun demikianlah sikap politik yang sudah diambil oleh Ahok. Zero compromise terhadap DPRD menjadi tagline kampanye Ahok untuk meraih simpati publik. Ahok tidak peduli DPRD tidak mau membahas APBD jika harus mengakomodir kepentingan  dewan. Perlu digarisbawahi, kepentingan di sini tidak selalu berarti uang. Kepentingan anggota dewan dalam APBD biasanya terkait skala prioritas pembangunan. 

Misalnya, anggota DPRD dari dapil Jakarta Utara akan memperjuangkan aspirasi konstituennya agar di daerah tersebut dibangun taman bermain, karena dalam rancangan APBD yang diserahkan eksekutif tidak memuat pembangunan taman bermain. Kedua pihak, kemudian bertemu- gubernur biasanya diwakili oleh Bappeda, mungkin akan membuang satu program yang masih bisa ditunda sehingga dananya bisa dialihkan untuk membangun taman bermain sesuai aspirasi anggota DPRD. Setelah APBD disahkan, pelaksana pembuatan taman tentu oleh eksekutif dengan diawasi oleh DPRD.

Itulah sekelumit contoh- sekali lagi hanya contoh, bagaimana pentinganya lobi politik dan kompromi antar lembaga eksekutif dan legislatif. Pada tataran yang lebih tinggi dan lebih spesifik karena menyangkut kepentingan yang lebih luas, tentu pola lobi dan kompromi yang dihasilkan akan berbeda. Jadi lobi dan kompromi politik itu bukan sesuatu yang tabu, apalagi haram.

Kembali kepada sikap Ahok terkait raperda reklamasi. Setelah melakukan kajian dan fakta adanya proses hukum yang tengah dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  terhadap Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta M. Sanusi karena tertangkap tangan menerima suap dari Presiden Direktur Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja yang diduga terkait pembahasan raperda reklamasi, maka sejak tanggal 5 April 2016 muncul wacana di kalangan anggota DPRD untuk menunda pembahasan raperda reklamasi. Puncaknya, setelah dilakukan rapat pimpinan DPRD yang diperluas pada tanggal 12 April 2016, DPRD memutuskan untuk menghentikan pembahasan raperda reklamasi usalan eksekutif (baca: Ahok) tersebut. 

Ada banyak alasan yang dijadikan dasar keputusan penghentian pembahasan raperda reklamasi. Menurut  Abraham Lunggana (Lulung).  Selain fakta bahwa sudah ada aktifitas reklamasi sebelum dikeluarkannya izin, sudah ada pembangunan gedung di atas pulau hasil reklamasi padahal perda yang akan dijadikan payung hukum penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB) baru dibahas, aspirasi nelayan di pantai utara Jakarta, menurut Lulung, keputusan itu juga didasari ‘pernyataan’ Ahok yang dinilai tidak menghargai anggota DPRD saat ini. 

Namun anehnya, setelah sejak wacana DPRD akan menghentikan pembahasan raperda reklamasi reaksi Ahok mulai berubah.  Ahok menuding DPRD hanya memberikan harapan palsu alias PHP .

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline