Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Paradoks Zaman Ahok

Diperbarui: 29 Maret 2016   00:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Your silent so thunderous - Jenderal Frederick ‘Boy’ Browning

Banyak peperangan besar yang dimenangkan bukan dengan persenjataan super canggih, pasukan besar, ataupun kekuatan ekonomi.  300 pasukan Sparta mengalahkan 170 ribu pasukan Persia, pasukan  Akhaia berhasil membobol benteng Kota Troya yang terkenal tangguh melalui tipu muslihat kuda kayu, hingga yang modern di mana pasukan Vietcong dengan peralatan seadanya mengalahkan pasukan Amerika Serikat yang didukung peralatan canggih, hanyalah contoh kecil gambaran bagaimana David mengalahkan Goliath.

Tulisan ini tentu bukan hendak membahas soal peperangan, melainkan pemilihan gubernur dan wakil gubernur (pilgub) DKI Jakarta. Kemunculan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang akan berusaha mempertahankan kekuasaannya melalui gelaran pilgub 2017 mendatang, telah menciptakan sejumlah paradoks sekaligus kegaduhan luar biasa yang getarannya sampai ke pelosok negeri. Sejak enam bulan terakhir, media-media berjejaring (daring) termasuk blog keroyokan seperti Kompasiana, selalu diramaikan dengan tulisan-tulisan terkait pilgub DKI Jakarta di mana penulisnya kebanyakan berasal dari luar Jakarta. Bahkan tidak sedikit yang tinggal di luar negeri. Sebagai ibukota negara, Jakarta memang bukan hanya milik warga ber-KTP Jakarta, namun milik semua anak bangsa.

Suka atau tidak suka kemunculan Ahok dalam blantika politik tanah air membawa sejumlah paradoks. Meski di luar Jawa bukan hal baru ada warga etnis China  yang menjadi kepala daerah- terutama di daerah Kalimantan Barat dan Bangka Belitung, namun tidak demikian halnya di daerah Jawa. Meski tidak ada larangan, namun bisa dibilang, jarang ada warga China yang maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) di Jawa.  Hanya Joko Widodo yang berani mendobrak kebekuan itu dengan menggandeng Ahok pada Pilgub DKI Jakarta 2012 lalu. Setelah Jokowi terpilih menjadi Presiden, Ahok pun resmi menjadi Gubernur Jakarta definitif. Sebuah paradoks politik yang luar biasa.

Meski bukan hal baru, bukan pula fenomena, keberanian Ahok melawan dominasi anggota DPRD DKI Jakarta dalam hal penentuan kebijakan umum anggaran – salah satunya menolak anggaran siluman dan pengadaan barang yang harganya di luar kewajaran seperti dalam kasus pengadaan uninterruptible power supply  (UPS), membuat banyak pihak tercengang. Bukan rahasia lagi jika selama ini banyak anggota DPRD yang bermain mata dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dalam penentuan suatu anggaran kegiatan. Bukan hal baru pula ada kepala daerah yang kemudian menentangnya sehingga seringkali terjadi ketegangan antara legislatif dan kepala daerah yang berujung pada langkah politik seperti impeachment. Namun yang terjadi di Jakarta, Ahok sangat frontal melawan-  menurut bahasa Ahok, begal anggaran. Akibatnya hubungan eksekutif dan legislatif tidak harmonis dan puncaknya terjadi ketika DPRD menolak mengesahkan APBD DKI Jakarta 2015 sehingga disahkan melalui Pergub dengan mengacu pada besaran APBD 2014.

Di satu sisi, boleh jadi itu prestasi karena Ahok dianggap berani melawan begal anggaran. Namun bagi lainnya, hal itu justru bukti ketidakmampuan Ahok dalam mengelola manajemen pemerintahan daerah sehingga tidak bisa menciptakan hubungan yang harmonis dengan kelembagaan daerah lainnya. Jika memang Ahok pandai, mestinya dia tetap bisa menjalin hubungan yang harmonis dengan mitranya di DPRD namun tetap tegas menolak permainan anggaran. Banyak daerah yang transparan dalam pengelolaan anggaran dan mampu meminimalisir terjadinya kebocoran tanpa harus terjadi benturan antara kepala daerah dengan DPRD sebagaimana yang dilakukan Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo dan juga Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.

Ahok kembali membuat paradoks politik ketika lebih memilih jalur perseorangan (independen) dalam kontestasi Pilgub DKI Jakarta 2017. Padahal sebelumhya PDIP dan beberapa partai sudah mengisyaratkan dukungannya. Pernyataan-pernyataan Ahok berikutnya membuat bos partai, terutama PDIP, geram. Pertama Ahok bilang jika melalui jalur partai politik membutuhkan mahar. Setelah diminta membuktikan apakah dirinya membayar mahar pada saat maju dalam pilgub sebelumnya, Ahok meralat ucapannya dengan mengatakan tidak ada mahar. Namun Ahok kemudian mengatakan jika menggunakan jalur partai politik memerlukan biaya yang sangat besar karena harus membiayai mesin partai hingga ke tingkat ranting. Sementara jika menggunakan jalur independen dirinya tidak perlu mengeluarkan uang karena segala sesuatunya sudah dipenuhi oleh relawannya yang tergabung dalam organisasi Teman Ahok.

Tentu masih banyak hal-hal yang dianggap melawan kemapanan, dianggap tidak mungkin. namun benar-benar dilakukan oleh Ahok. Kecepatan Ahok melakukan penggusuran Kalijodo, ancaman yang ditebar untuk melawan semua pihak- termasuk DPR,  BPK dan KPK apalagi dirinya dijadikan tersangka dalam kasus Sumber Waras, benar-benar membuat geger jagat politik tanah air. Saat pisah sambut Kapolda Metro Jaya Ahok mengaku berani melakukan itu semua karena dibeking oleh Kapolda Metro Jaya (saat itu) Irjen Tito Karnavian (kini Komjen). Hubungan yang sangat mesra antara Tito dengan Ahok sempat mengundang kecurigaan pihak lain. Terlebih saat Polda Metro begitu all out membereskan Kalijodo dalam tempo tidak kurang dari satu minggu, dan setelah itu Ahok menghibahkan dana sampai Rp 70 miliar untuk membangun lahan parkir di Mapolda Metro Jaya yang dananya diambil dari pihak ketiga terkait denda koefisien lantai bangunan (KLB). Tito pun memuji Ahok sebagai pemimpin yang tidak hanya memberikan angin surga. Akhir dari drama ini, Tito dipromosikan menjadi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Meski dianggap sebagai peningkatan karir karena bintang di pundaknya bertambah satu, namun kasus ini sempat disamakan dengan kasus Komjen Budi Wasesa yang digeser dari Kepala Bareskrim Polri menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) usai geger penggrebekkan kantor Pelindo II.

Kerancuan pola pikir juga muncul dalam jargon-jargon menarik. Misalnya, terhadap kritik rendahanya penyerapan APBD DKI Jakarta di mana realisasi APBD 2015 hanya sekitar Rp 40 triliun  alias cuma  pada kisaran 60 persen, cyber army Ahok, relawan, pendukung atau apalah namanya, membuat jargon : lebih baik tidak terserap daripada dikorupsi.

Padahal dengan tidak terserapnya anggaran secara maksimal, otomatis menggagalkan program kerja yang sudah dicanangkan sebelumnya.  Sebagai catatan, tersimpannya dana triliunan di kas pemda- biasanya di simpan di bank pemerintah/daerah karena memang diperbolehkan, maka akan diperoleh bunga simpanan yang tidak sedikit. Siapa yang menikmati bunga bank tersebut? Rendahnya realisasi program yang terlihat dari rendahnya serapan anggaran, menjadikan angka kemiskinan di DKI Jakarta melonjak. Dalam setahun yakni Maret 2014 sampai Maret 2015 terjadi peningkatan angka kemiskinan yang cukup signifikan seperti dikutip di sini.

Tegasnya, rendahnya penyerapan anggaran suatu daerah/instansi itu cermin kegagalan dalam hal pengelolaan anggaran. Jadi, mengapa jargonnya tidak : lebih baik anggaran terserap dan tidak dikorupsi?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline