Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Ambivalennya Pendukung Ahok

Diperbarui: 19 Februari 2016   15:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kita pernah hidup di masa kegelapan di mana kebenaran hanya datang satu arah, bahkan satu tempat bernama Cendana. Segala logika kebenaran dan keadilan akan tumpul manakala berhadapan dengan kelompok Cendana. Tidak ada yang boleh berbeda pendapat dengan tafsir kebenaran versi Cendana. Jika ada yang tetap memaksakan kehendak, maka tanpa ampun dia dan keluarganya- yang notabene tidak tahu apa-apa, akan langsung diberi stempel sebagai musuh negara. Label sebagai antek PKI disematkan pada hal-hal yang paling pribadi seperti KTP sehingga tidak ada lagi ruang bagi dia untuk berinteraksi secara merdeka dengan warga lainnya.

Kita pernah  hidup di zaman ketika etnis Cina ditempatkan pada posisi subordinasi, sehingga terlarang untuk melakukan ini-itu. Mereka tidak bisa masuk ke pemerintah, juga militer, karena dianggap warga negera kelas dua. Secara terselubung, kebencian terhadap etnis Cina dikampanyekan melalui  ruang-ruang senyap- termasuk film G30S/PKI di mana poros Jakarta- Peking dijadikan sentral dari kesalahan politik saat itu. Kebencian yang ditanamkan secara sistemtis itu merasuk dan mengendap dalam alam bawah sadar sebagian besar warga sehingga ketika ada pematiknya, dengan mudah akan meledak menjadi kerusuhan berskala besar. Kasus Pekalongan, Solo, Bandung, Makasar, Medan, Palu, Surabaya, Rengasdengklok  dan sejumlah daerah lainnya hanya contoh kecil terjadinya ledakan emosi warga tersebut terkait hal tersebut.

Puncaknya adalah kerusuhan Mei 1998 di Jakarta di mana ribuan warga etnis Cina menjadi korban kebiadaban warga yang tengah emosional akibat krisis politik dan ekonomi.  Warga beretnis Cina dijadikan katarsis dari tekanan ekonomi yang berat. Mengapa? Karena selama ini ada kecemburuan terhadap etnis Cina yang rata-rata lebih mapan secara ekonomi.

Miris...!

Pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014 lalu, sekelompok orang mencoba membangkitkan kembali sentimen itu. Cina dan PKI dijadikan isu untuk memukul pasangan Joko Widodo dan M. Jusuf Kalla. Namun mayoritas rakyat Indonesia menentang isu-isu semacam itu yang dibuktikan dengan tingginya dukungan yang diberikan kepada pasangan Jokowi-JK. Pengusung isu SARA (selanjutnya disebut rasis karena kata ini telah mewakili ungkapan/tindakan kebencian seseorang terhadap orang lainnya yang didasari oleh perbedaan agama dan suku, bukan hanya warna kulit) tak berkutik manakala sebagain besar dari rakyat Indonesia memilih bergandengan tangan secara merdeka dengan warga lainnya tanpa mau dibatasi oleh sekat-sekat imajinier yang diciptakan kelompok rasis.

Kita bersyukur telah melewati ujian maha berat yang menjadi  persoalan umat manusia, di belahan dunia mana pun. Bahkan di Amerika Serikat-  yang mengklaim diri sebagai negara paling liberal, paling bebas, paling menghargai hak asasi manusia, masih sering terjadi letupan sosial berlatarbelakang warna kulit. Salah satu bukti nyata bahwa kita sudah bisa terbebas dari isu-isu rasis, adalah diterimanya Basuki Tjahaya Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta. Hal yang tidak mungkin terjadi 20 atau bahkan 15 tahun lalu.

Upaya sekelompok masyarakat yang mengaitkan Ahok- demikian Basuki Tjahaya Purnama biasa disapa, dengan isu-isu primordial dan warna kulit, ditolak oleh sebagian besar warga Jakarta. Kelompok ini akhirnya menghilang bersama gubernur tandingannya, karena kehilangan dukungan rakyat Jakarta. Konon sekarang mereka hengkang ke daerah Jawa Barat dan tengah berseteru dengan beberapa kepala daerah di sana.   

Atas segala  capaian ini tentu kita wajib berterima kasih kepada para pemimpin kita yang telah berhasil menghancurkan tembok rasialisme, terutama Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Tanpa lelah beliau mengurai kekusutan itu sehingga sekarang kita mewarisi wajah negeri yang beraneka warna, saling melengkapi tanpa sekat-sekat primitif.

Namun segala capaian itu kini kembali terancam. Kita akan kembali menjadi bangsa yang tersekat-sekat dalam ruang sempit beraura rasis. Tragisnya, hal itu justru dibangun oleh mereka yang selama ini mendapat keuntungan dari perjuangan Gus Dur dan para penggiat HAM. Mereka yang selama ini membenci isu-isu rasis, tanpa sadar terjebak dalam imajinasi konyol sehingga dengan gampang memasung orang-orang yang berbeda pendapat dengan kelompoknya, dalam wadah bersekat rasis.

Salah satu contoh paling nyata adalah munculnya kelompok yang memposisikan diri sebagai pembela (pendukung?) Ahok. Nitizen dari kelompok ini akan langsung memberikan label rasis kepada siapa saja yang berbeda pendapat terkait kebijakan Ahok. Kritik kepada kebijakan- sekali lagi KEBIJAKAN yang dibuat Ahok, diartikan sebagai kritik kepada PRIBADI Ahok yang beretnis Cina dan beragama Kristen sehingga mereka yang mengkritik kebijakan Ahok dipersonifikasikan sebagai orang yang anti Cina dan Islam puritan. Karena Ahok sangat transparan dalam hal anggaran, maka para pendukung Ahok juga melabeli mereka yang beda pendapat terkait kebijakan Ahok dengan sebutan antek koruptor. Untuk membuktikan hal ini, silahkan Anda baca komentar-komentar nitizen pada berita/pendapat seseorang yang secara substansi  berbeda pendapat dengan kebijakan Ahok.

Apakah di antara mereka yang tidak sependapat dengan beberapa kebijakan Ahok bersih dari pikiran rasis?  Tidak. Sebagian (kecil) dari mereka pasti ada yang berpikiran rasis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline