Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Aziz Ketum Golkar, Jokowi Melunak

Diperbarui: 27 Januari 2016   16:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar akan dilaksanakan oleh pengurus versi Munas Bali sebagai pihak yang memiliki legal standing di depan pemerintah.  Tim Transisi bentukan Mahkamah Partai yang digawangi Jusuf Kalla dan sejumlah senior Golkar, plus kubu Munas Jakarta pimpinan Agung Laksono, dipaksa menerima keputusan pahit itu tanpa reserve. Tidak heran jika sebagian pengamat yang pesimis menilai, gelaran Munaslub tidak lain hanya ajang pengukuhan kepengurusan Partai Golkar versi Munas Bali dengan varian pada beberapa pengurus saja, terutama rolling posisi Aburizal Bakrie dari ketua umum menjadi  ketua Dewan Pertimbangan.

Pengorbanan terbesar untuk sampai mendapatkan legal standing itu sebenarnya bukan plakat dukungan kepada pemerintah maupun kelegowoan Ical- sapaan akrab Aburizal Bakrie, melepas jabatan ketua umum. Bagi Presiden Joko Widodo, dukungan Golkar hanyalah “oli samping” yang akan menambah kecepatan gerak pemerintah, namun bukan segala-galanya. Lagi pula Jokowi juga tahu Golkar baru hasil Munaslub bisa saja sewaktu-waktu mencabut dukungan kepada pemerintah karena merasa tidak terikat dengan plakat yang disahkan di arena Rapimnas saat kepengurusan masih di bawah Ical.

Sedangkan mundurnya Ical dari ketua umum pun tidak terlalu memberi efek  pada pemerintah karena dia masih akan tetap memiliki cengkeraman yang kuat di kepengurusan pasca Munaslub. Ical tetap akan bisa memainkan kekuatan Golkar manakala kepentingan bisnisnya terusik seperti yang dilakukan pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ical selalu memainkan isu bailout Bank Century manakala pemerintah saat itu menyoal Lapindo dan pajak tambang.     

Lalu apa yang membuat pemerintah (baca: Jokowi) akhirnya merestui legal standing kubu Munas Bali? Jawabannya adalah nama calon ketua umum Partai Golkar hasil Munaslub yang disodorkan Ical!

Jokowi bukan anak ingusan dalam konteks politik. Keberhasilannya menunggang “banteng moncong putih” untuk meraih sejumlah jabatan politik sejak dari Wali Kota Solo, Gubernur DKI hingga Presiden RI, bukti tak terbantahkan bagaimana piawainya Jokowi memainkan isu dan ketepatan menempatkan diri sehingga PDI Perjuangan tidak memiliki calon lain pada setiap gelaran politik yang diikuti Jokowi. Hal itu menjadi modal berharga manakala Jokowi harus berhadapan dengan tokoh-tokoh politik nasional, terutama para punggawa Koalisi Merah Putih, termasuk Ical.

Dalam kaitannya dengan Golkar, Jokowi meminta kepastian siapa yang akan menjadi ketua umum Golkar hasil Munaslub. Nama tersebut sangat menentukan karena akan bisa dibaca arah kebijakannya. Jokowi tidak mau “membeli kucing dalam karung”. Silahkan Munaslub berjalan sesuai skenario Ical, silahkan Ical tetap memiliki kekuatan nyaris powerfull di situ. Tetapi Jokowi mempunyai keyakinan jika sosok ketua umum bisa dipegang, Ical pun tidak akan terlalu lelauasa bergerak. Dengan bahasa lain, Jokowi tidak mau ketua umum Golkar mendatang benar-benar “anak Ical” seperti Nurdin Halid dan Idrus Marhan. Namun Jokowi pun tidak mau jika Golkar dipimpin oleh kader ‘bengal’ seperti  Yorrys Raweyai.

Sementara Ical juga keberatan jika penggantinya berasal dari kubu Munas Jakarta seperti Priyo Budi Santoso, Agus Gumiwang maupun Agun Gunanjar. Di akhir kompromi, muncul lima nama yang mendekati keinginan Ical dan Jokowi yakni Fadel Muhammad, Mahyudin, Airlangga Hartarto, Indra Bambang Utoyo dan Ade Komaruddin. Satu nama lagi yang belakangan diusulkan keduanya dan akan menjadi kuda hitam adalah Aziz Syamsuddin.

Keberhasilan Aziz mengambil alih Kosgoro 1957 dari tangan Agung Laksono menjadi credit point politisi muda Golkar yang kini menjabat sebagai Sekretaris Fraksi Golkar di DPR tersebut. Meski dikenal sebagai loyalis Ical, namun Aziz diyakini cair sehingga akan berani melawan Ical untuk isu-isu krusial di masa mendatang. Persoalan terbesar anggota DPR RI dari Dapil Lampung II itu karena usianya yang masih sangat muda (45 tahun), sehingga dikhawatirkan tidak bisa maksimal ketika melakukan konsolidasi dengan senior-seniornya di daerah.

Siapa yang akhirnya terpilih menjadi ketua umum Golkar menggantikan Ical? Menarik untuk diikuti dan disimak karena siapa pun orangnya, ia akan ikut menentukan arah kebijakan Presiden Jokowi baik ketika memposisikan diri sebagai pendukung atau pun oposisi. Bukankah kebijakan Presiden Jokowi tidak akan jalan manakala tidak mendapat dukungan partai politik yang memiliki perwakilan di DPR seperti dalam kasus penyertaan modal negara (PMN) ke sejumlah BUMN dalam APBN 2016 kemarin?

Selamat mengikuti tahapan demi tahapan menuju Munaslub Golkar. Semoga akan lahir politisi yang memiliki bobot negarawan sehingga tidak hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya saja. 

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline