Legal standing (kedudukan hukum) menjadi ganjalan serius untuk mempersatukan faksi-faksi di tubuh Partai Golkar. Kubu Aburizal Bakrie menganggap Munas Bali sah sehingga memiliki legal standing. Buktinya pemerintah merestui gelaran Rapimnas Golkar di Jakarta Convention Center melalui kehadiran Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Panjaitan dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly. Dengan demikian jika pun harus dilakukan perombakan kepengurusan Partai Golkar maka harus melalui Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) karena masa bakti kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Bali baru akan berakhir 2019 mendatang.
Kubu Munas Jakarta pimpinan Agung Laksono menolak klaim kubu Ical. Setelah pengesahan kepengurusannya dicabut Menkumham melalui Nomor M.HH-23.AH.11.01 Tahun 2015 tentang Pencabutan SK Menkumham RI Nomor M.HH-01.AH.11.01 tahun 2015 tanggal 23 Maret 2015 tentang pengesahan perubahan AD/ART serta komposisi dan personalia DPP Partai Golkar sesuai putusan kasasi MA Nomor 490K/TUN/2015 tanggal 20 Oktober 2015, menurut Agung, kedua kubu baik Munas Jakarta maupun Munas Bali sama-sama tidak memiliki legal standing. Bahkan lebih jauh, Agung juga mengatakan telah terjadi kekosongan kepengurusan (vacum of power) di tubuh Golkar karena kepengurusan Munas Riau 2009, sudah habis masa baktinya terhitung sejak 1 Januari 2016 sehingga konflik hanya bisa diselesaikan melalui jalan Munas.
Sementara Jusuf Kalla dan Akbar Tanjung serta beberapa pentolan Golkar beranggapan, saat ini hanya Mahkamah Partai Munas Riau yang memiliki legal standing. Mereka pun langsung bergerak melalui Tim Transisi yang dibentuk Mahkamah Partai. Tim Transisi hanya memiliki satu agenda tunggal yakni menyelenggarakan Munas dengan tetap membuka opsi Munaslub sebagai pintu masuk kubu Bali.
Namun kubu Ical ternyata lebih cerdik memainkan isu. Ical memanfaatkan forum Rapimnas sebagai ajang unjuk kekuatan dan kelihaiannya dalam berpolitik. Ical memperalat suara DPD untuk menekan Presiden Joko Widodo. Hal itu terlihat dari pidato pembukaan Rapimnas di mana Ical secara terbuka membuka opsi digelarnya Munaslub yang kemudian diikuti suara-suara dukungan dari mayoritas DPD dan juga kelompok induk organisasi (kino). Ical menyatakan bersedia mundur (melalui gelaran Munaslub) sepanjang pemerintah terlebih dulu memberikan pengakuan terhadap kepengurusan Munas Bali. Dengan demikian Munas Bali memiliki legal standing yang kuat untuk menggelar Munaslub.
Meski mengakui kehadiran Menkopolkam dan Menkumham dalam ajang Rapimnas sebagai sinyal dukungan pemerintah, namun Ical meminta lebih dari itu. Ical ingin pemerintah (baca: Presiden Jokowi) mengakui keabsahan kubu Munas Bali yang dibarter dengan dukungan kepada pemerintah dan yang lebih penting lagi pengunduran dirinya dari posisi ketua umum Golkar sebagai jalan untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan di tubuh Golkar seperti yang diinginkan Jokowi.
Namun karena hingga Minggu malam sinyal yang diminta dari istana belum juga terlihat, Ical kembali memperalat DPD untuk merubah dukungan Munaslub meski tetap membuka opsi tersebut dengan menyisakan 10 DPD yang setuju Munaslub sebagai antisipasi manakala menjelang penutupan Rapimnas pemerintah mengirim pesan jelas seperti yang diinginkan. Bahkan Ical pun sempat bersuara keras dengan menyatakan akan tetap mempertahankan struktur kepengurusan Munas Bali dan memilih jalan ‘frontal’ sebagai bentuk dukungan kepada DPD-DPD yang menolak Munaslub.
Hasilnya sungguh efektif. Dinamika Rapimnas- demikian Ketua Rampinas Nurdin Halid meresponnya, menjadi seirama dalam ketidakkompakan- sepakat untuk tidak menyepakati opsi tunggal. Hal itu berbeda sekali dengan saat pelaksanaan Munas Bali yang satu suara, satu tujuan, satu kepentingan sehingga berjalan relatif cepat dan menghasilkan keputusan seperti yang sudah diwacanakan jauh sebelumnya.
Senin sore istana pun akhirnya mengirim pesan tegas dan kuat mengakui legal standing kubu Ical dengan mendukung digelarnya Munaslub. Setelah rapat Komisi A bidang Organisasi selesai, Nurdin Halid langsung mengabarkan hal itu sehingga seluruh perwakilan DPD kembali satu suara: menerima Munaslub.
Hal ini sebenarnya sudah dapat dibaca sebelumnya di mana dalam konteks rebutan “Pohon Beringin” Jokowi akhirnya memilih mendukung Ical dibanding Jusuf Kalla.
Dukungan Jokowi membuat Jusuf Kalla semakin terpojok. Tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti dinamika yang dibangun Ical. JK tidak lagi mempersoalkan tawaran remis yang tidak disambut Ical. Ada kepentingan lebih besar yang harus segera dilakukan agar tidak ketinggalan kereta. Dengan alasan ingin mendengarkan suara dukungan Golkar kepada pemerintah dan memastikan jadwal pelaksanaan Munaslub, JK datang ke arena Rapimnas didampingi Menkopolhukam, Menkumham dan Mendagri Tjahjono Kumolo.
JK tidak tidak lagi mempersoalkan Munas atau Munaslub. Bagaimana pun JK masih membutuhkan dukungan Golkar untuk menopang kursi Wapres yang kini didudukinya. Bergabung dengan Ical yang sudah menyatakan dukungannya kepada pemerintah menjadi pilihan paling logis daripada harus bertarung di gelanggang yang tidak seimbang yang ujung-ujungnya bisa menciptakan gesekan dengan Jokowi. Tanpa diucapkan, Tim Transisi dengan sendirinya gugur tanpa sempat berputik.