Berbeda dengan kesigapan dalam menangani teroris, polisi justru terlihat begitu amatiran dalam menangani kasus kopi berisi sianida yang menewaskan Wayan Mirna Salihin (27) di Kafe Oliver Grand Indonesia.
Setelah memastikan ada sianida dalam kopi Vietnam yang diteguk Mirna, polisi seolah menggiring opini tersangkanya salah satu dari dua teman Mirna yang ikut minum kopi yakni Jessica Kumala Wongso (27) dan Hani. Belakangan nama Jessica menempati urutan nomor satu sebagai terduga pelaku pembunuhan terhadap Mirna karena yang bersangkutanlah yang memesan kopi sehingga dianggap sebagai pihak yang paling mungkin menaruih sianida dalam gelas kopi maut tersebut.Polisi pun hanya menggeledah rumah Jessica, hanya mencari celana Jessica, dan hanya Jessica pula yang diperiksa berkali-kali.
Media pun menyambutnya dengan antusias sehingga berita-berita yang menyudutkan dan cenderung menghakimi Jessica terbabar tanpa perimbangan. Belakangan, dengan intensifnya pemeriksaa terhadap Jessica dan gencarnya pemberitaan yang menyudutkan Jessica, pola pikir masyarakat pun terbentuk sehingga menempatkan Jessica sebagai pembunuh Mirna sebelum putusan pengadilan (trial by mass).
Padahal siapa pun bisa menjadi tersangka dalam kasus kematian Mirna. Jessica, Hani, karyawan kafe, satpam, hingga pengunjung Grand Indonesia pada hari kematian Mirna memiliki potensi yang sama sebagai pelaku pembunuhan.
Pertama karena kejadian itu berlangsung di tempat terbuka dengan lalu-lintas manusia yang cukup tinggi. Meski berada dalam ruang kafe, namun siapa pun tahu semua orang bisa masuk ke kafe dan keluar lagi tanpa perlu membeli sesuatu. Misalnya hanya meliihat-lihat menu lalu pergi dengan alasan tidak ada menu yang cocok. Satu-dua dari kita pasti pernah melakukan itu.
Kedua, polisi terjebak pada pemahaman bahwa pembunuhan tersebut sudah direncanakan sehingga orang yang terdekat dan terakhir yang berada dekat korban yang memiliki potensi lebih besar untuk menjadi pelaku pembunuhan. Pola pendekatan kuno dan text book itu efektif untuk menangani kasus pembunuhan yang dilakukan secara tradisional, bukan sebuah pembunuhan berencana. Ibarat novel detektif, pelaku sudah menyiapkan seluruh kemungkinan, bahkan sudah membaca alur pikir penyidik. Bukankah sangat mungkin Jessica hanya umpan sehingga polisi terjebak di situ sementara pelaku sebenarnya ikut ikut-ikutan menuduh? Ketika polisi sibuk mengerahkan tukang sampah untuk mencari celana Jessica yang dibuang pembantunya dengan alas an robek, para penggila novel detektif akan tertawa ngakak karena polisi benar-benar sudah masuk perangkap.
Ketiga, hubungan asmara. Kisah cinta sesama jenis, cemburu dan perselingkuhan justru ditonjolkan dan seolah tidak ada masalah lain dalam kasus pembunuhan ini. Hal itu terjadi karena pola pikir (opini) penyidik sudah terbentuk jika pelakunya Jessica. Mereka mengerahkan berbagai kemungkinan yang biasa terjadi dalam kasus pembunuhan. Mengapa polisi tidak mencoba mengembangkan penyidikan pada cakupan alasan yang lebih luas semisal pekerjaan. Bukankah posisi Jessica, Hani dan karyawan kafe paling aman jika pembunuhan itu terkait pekerjaan karena mereka tidak ada kaitan pekerjaan? Ingat, pelaku pembunuhan berencana akan menempatkan dirinya pada posisi yang paling ‘aman’!
Ayo dong, Pak Polisi, bekerja dengan rapi dan jangan banyak mengumbar pernyataan yang serba spekulatif seperti politisi. Jika dulu polisi bisa menekan seseorang dengan berbagai cara (bahkan kekerasan) untuk mengaku sebagai pelaku kriminal, dalam kasus ini akan menjadi mustahil karena kasusnya sudah terekspose dan publik mengikuti setiap detailnya.
Ubah pendekatan penyidikannya niscaya tidak sampai 2x24 jam pelakunya sudah bisa diketahui. Tepis isu jika kerja penyidik di bawah tekanan pihak lain- pihak yang tak tersentuh. Jika memang Jessica pelakuknya, segera tetapkan sebagai tersangka. Jika pihak lain, kejarlah karena racun sianida bukan barang langka sehingga dikuatirkan akan timbul korban lain jika pelaku sebenarnya masih berkeliaran.
Polisi pasti bisa!