Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Jokowi Titisan Pak Harto

Diperbarui: 10 Januari 2016   01:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mencari kesamaan politik antara Presiden Ri ke 7 Ir. Joko Widodo dengan Presiden RI ke 2 Jenderal Besar Soeharto adalah kesia-siaan. Keduanya ibarat langit dan bumi. Namun setelah dipaksa dicocokpadankan, ternyata ada beberapa persamaan bahkan sangat identik sehingga layak jika Jokowi disebut sebagai titisan Pak Harto. 

Persamaan pertama terkait bahasa tubuh (gestur). Jika Pak Harto suka tersenyum sehingga dunia barat memberi julukkan The Smiling General maka Jokowi suka cengengesan sehingga aku menyebutnya sebagai Mr Cengengesan.

Jika senyum dimaknai positif, maka cengengesan seharusnya juga memiliki arti positif. Tidak selamanya cengengesan itu menandakan ketidakseriusan sebagaimana tidak selamanya senyum itu berarti positif. Bukankah ada senyum yang menandakan kesinisan?

Bisa jadi senyum Pak Harto dan cengengesan Pak Jokowi adalah katarsis dari suatu masalah yang pelik, menyindir pihak lain, atau bisa juga untuk menghindari pernyataan yang menohok. Dalam konteks pembicaraan secara langsung senyum dan cengengesan sama-sama memberi tenggat waktu untuk berpikir sebelum menyatakan sesuatu.

Kedua, ndeso. Dalam bahasa yang lebih humanis disebut sederhana. Pak Harto tetap mempertahankan beberapa kebiasaan sebagai orang desa yang identik dengan kesederhanaan. Salah satunya menu makan. Tahu dan tempe adalah makanan yang harus tersedia di meja makan Pak Harto. Ternyata menu makan Jokowi pun tidak jauh-jauh dari tempe.

Dalam hal berbusana, Pak Harto sangat identik dengan batik. Tamu-tamu negara- termasuk Nelson Mandela, pun dihadiahi batik. Sedangkan Jokowi identik dengan baju putih yang lengannya digulung sebagai simbol dirinya seorang pekerja lapangan, bukan kantoran.

Ketiga, ketegasan. Pak Harto dikenal sebagai pribadi yang sangat tegas terkait kebijakannya sehingga terkesan anti kritik. Pak Harto mengabaikan tekanan dunia internasional ketika menindak- meminjam istilah Pak Harto- gerombolan pengacau keamanan di Aceh dan Papua serta memberangus organisasi tanpa bentuk (LSM). Pak Harto juga dengan enteng menutup media yang salah memberitakan kebijakannya.

Pak Harto menggunakan militer untuk memastikan kebijakannya berjalan. Tidak heran jika pada saat itu ada warga yang menolak lahannya digusur untuk pembangunan dicap sebagai musuh negara sehingga urusannya bisa berakhir di kantor Koramil. Padahal bisa jadi lahan tersebut sebenarnya digusur untuk pembangunan pabrik, perumahan, lapangan golf yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan kepentingan negara.

Presiden Jokowi pun memiliki ketegasan yang nyaris tanpa kompromi sehingga lawan dan kawan politiknya- termasuk Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama Ahok dan juga petinggi PDI Perjuangan,  menyebutnya koppig (keras kepala). Jokowi tidak menghentikan kebijakannya untuk menenggelamkan kapal-kapal asing yang menjarah ikan di perairan Indonesia meski diprotes banyak negara tetangga. Jokowi juga tetap mengeksekusi bandar narkoba meski diancam  pemutusan hubungan diplomatik oleh negara-negara yang warganya hendak dieksekusi. Bahkan Jokowi pun mengabaikan ‘nasehat’ Sekjen PBB. Buah ketegasan Jokowi juga akhirnya China menghapus Natuna dari peta negaranya.

Sikap tegas juga dipertontonkan secara nyata manakala sejumlah pihak- baik dari partai pengusungnya maupun haters, mendesak agar Jokowi me-reshuffle beberapa menterinya seperti Menteri BUMN Rini Soemarno,  Jaksa Agung HM Prasetyo dan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani. Dengan tegas Jokowi menyatakan reshuffle adalah hak prerogatif sehingga dirinya tidak bisa ditekan atau pun didikte oleh siapapun termasuk partai pendukungnya.

Jika Pak Harto mampu melumpuhkan partai politik dan memaksanya untuk fusi sehingga zaman itu hanya ada dua parpol yakni PDI dan PPP serta satu organisasi kekaryaan yakni Golkar. Hebatnya lagi, meski kedua partai itu diposisikan sebagai oposisi, namun tidak ada kebijakan PDI dan PPP yang bisa berjalan tanpa restu Pak Harto.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline