Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Kriminalisasi Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Diperbarui: 1 Januari 2016   21:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Nasib Aop Saopudin, Guru SDN Penjalin Kidul V, Majalengka, Jawa Barat sontak menjadi perbincangan setelah dikriminalisasi oleh Iwan Himawan. Aop dilaporkan ke polisi karena menggunting rambut gondrong THS= anak Iwan, yang dinilai melanggar peraturan  sekolah. Bukan hanya mempolisikan, Iwan juga balas menggunting rambut Aop. Belakangan Aop pun balik melaporkan Iwan.

Hasilnya- di tingkat kasasi Aop dibebaskan setelah sebelumnya divonis bersalah dan dijatuhi hukuman percobaan di peradilan negeri dan tinggi. Nasib berbeda dialami Iwan. Meski sebelumnya juga divonis hukuman percobaan, namun di tingkat kasasi majelis hakim menghukum Iwan tiga bulan kurungan badan.

Kasus Aop menjadi sangat menarik karena saat persidangan, jaksa menjerat Aop dengan tiga pasal yakni pasal 77 huruf a UU Perlindungan Anak tentang perbuatan diskriminasi terhadap anak, pasal 80 ayat 1 UU Perlindungan Anak tentang penganiayaan terhadap anak dan pasal 335 ayat 1 kesatu KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan.

Di sini kita melihat aparat penegak hukum (jaksa dan hakim di tingkat pertama dan kedua) sependapat dengan Iwan Himawan bahwa yang dilakukan Aop adalah tindak kriminal, bukan mendidik. Hal inilah yang memancing ‘kemarahan’ publik. Berbagai kecaman dan hujatan kepada orang tua murid dan aparat penegak hukum pun tak terbendung. Seolah Iwan dan para penegak hokum di tingkat pertama dan kedua tidak pernah sekolah sehingga tidak ‘menghargai’ guru.

Mari kita mendudukkan persoalan ini secara lebih objektif. Pertama, apakah tindakkan Aop dapat dibenarkan? Sebagai pendidik, adalah tugas Aop untuk mendidik THS- muridnya, agar mentaati peraturan sekolah. Mengajarkan disiplin kepada anak didik adalah bagian terpenting dari pendidikan karakter selain pokok pendidikan itu sendiri yakni memberi ilmu pengetahuan. Bahkan saat ini banyak pihak menilai maraknya kasus kriminal yang melibatkan pelajar- termasuk tawuran yang menelan korban jiwa, diakibatkan karena kurangnya pendidikan karakter (moral) di sekolah. Dengan semangat ini, tindakan Aop dapat dianggap benar.

Kedua, apakah hukuman dengan cara memotong rambut THS secara serampangan (tidak beraturan) dapat dibenarkan? Guru dianggap sebagai sosok yang wajib digugu dan ditiru. Bahkan ada ungkapan guru kencing berdiri, murid (akan) kencing berlari. Guru memang dibenarkan untuk memberi hukuman kepada muridnya. Namun ingat, tujuan utama pemberian hak kepada guru untuk menghukum muridnya, adalah dalam rangka memberikan efek jera dalam koridor mendidik. Artinya, efek jera di sini harus ditafsirkan berbeda dengan efek jera yang diberikan kepada pelaku kriminal. Guru tidak bisa serta merta menghukum muridnya dengan hukuman seperti yang diberikan kepada pelaku kriminal. Memotong rambut siswa yang gondrong jelas tidak mendidik dan cenderung melegalkan kekerasan fisik. Benar bahwa siswa melanggar peraturan sekolah. Namun bukankah ada hukuman lain yang lebih mendidik. Misalnya dengan menyuruh berdiri di lapangan sambil menghormat bendera. Bisa juga dengan disuruh menulis “saya malu memiliki rambut gondrong” sebanyak satu buku tulis. Hukuman semacam itu jauh lebih mendidik dari pada memotong rambut siswa secara serampangan.

Ketiga, rendahnya penghormatan terhadap guru- dalam konteks profesi. Ejekan Iwan bahwa Aop hanya guru honorer (bisa ditafsirkan bahwa guru honorer tidak berhak menghukum siswanya), jelas sebuah ejekan. Bukan rahasia lagi, sebagian dari kita menderita “sakit sosial”. Penghargaan didasarkan pada kekayaan (penghasilan). Tidak heran jika banyak koruptor yang tetap mendapat tempat di hati masyarakat karena yang bersangkutan kaya raya dan suka menyumbang. Penghargaan yang sama tidak akan kita dapatkan manakala kita miskin meski kita tidak melakukan tindak kriminal. Dalam konteks ini, kita bisa menyimpulkan, andai yang memberi hukuman kepada THS bukan guru honorer, katakan guru berstatus PNS yang notabene memiliki gaji lebih besar dibanding guru honorer, mungkin saja reaksi Iwan Himawan tidak sedasyat itu.

Dari ketiga hal tersebut, kita harus jujur bahwa kesalahan bukan hanya ada pada Iwan, namun juga Aop. Guru bukanlah sosok yang tidak bisa disalahkan, meski tindakannya dalam konteks mendidik. Apakah kita terima begitu saja manakala anak kita ditempeleng oleh gurunya. Sebagai orang tua kita tentu akan protes karena menempeleng- meski dimaksudkan untuk mendidik, tetap tidak bisa dibenarkan. Apa jadinya anak kita jika sudah terbiasa ditempeleng oleh gurunya. Pastinya, kelak dia akan meniru kelakuan gurunya.

Harus dingat, kekerasan tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun, termasuk mendidik. Bahkan kekerasan harus dijauhkan dari lingkungan sekolah. Kita menghormati- menaruh hormat setinggi-tingginya, kepada para pahlawan tanpa tanda jasa. Namun kita juga wajib mengingatkan para guru agar lingkungan sekolah tidak dijadikan ajang untuk menumbuhkan kekerasan.

Semoga kasus Aop dan Iwan membuat kita sadar, masih banyak persoalan sosial di tengah kita. Apapun jalan penyelesaiannya, hindari kekerasan!

 

salam  @yb




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline