Setahun lalu, suara-suara yang meragukan kepemimpinan Presiden Joko Widodo masih santer terdengar. Setahun lalu orang-orang yang meyakini Jokowi akan jatuh sebelum tahun kedua pemerintahannya, kencang bergema. Setahun lalu kampanye bahwa Jokowi dikuasai asing dan aseng laku keras. Setahun lalu Jokowi adalah pemimpin yang paling rapuh pondasi kekuasaannya karena ‘hanya’ didukung oleh rakyat yang tidak menguasai militer, partai politik, maupun uang.
Namun apa yang terjadi hari ini? Semua keraguan, pesimistis dan tuduhan itu lenyap tak berbekas. Satu per satu lawan politiknya baik yang berasal dari partai pendukung maupun eksternal ‘dihabisi’. Dengan jurus “manajemen konflik” Jokowi kini tampil menjadi sosok yang perkasa. Musuh-musuhnya dengan suka rela muncul ke permukaan untuk kemudian di-gethok.
Jika mantan Presiden Soeharto menggunakan- meminjam istilah Pramudya Ananta Toer, akuarium untuk memantau rakyatnya, Jokowi memakai nyiru. Rakyat ditampi sehingga ‘gabah’ dan kotoran lainnya akan muncul, terpisah dari beras. Sambil tertawa, Jokowi pun membuang gabah, merang (kulit gabah) dan kotoran lainnya.
Para pembantunya (kabinet plus staf) dibiarkan bekerja tanpa petunjuk teknis. Jokowi hanya memberi garis besar kebijakannya tanpa disertai cara untuk mewujudkan kebijakan tersebut secara rinci. “Anda dipilih menjadi menteri karena kepintaran, kepakaran, di bidang itu. Silahkan gunakan kepintaran anda,” kata Jokowi ketika ada pembantunya yang bertanya (baca: minta petunjuk).
Para menterinya pun kocar-kacir karena menggunakan logika dan pemikiran masing-masing untuk menjalankan kebijakan Presiden. Tidak heran jika beberapa kali keputusan yang dibuat menterinya dianulir oleh Presiden seperti kenaikan DP mobil pejabat, pencairan tunjangan hari tua pekerja, dan terakhir soal angkutan berbasis aplikasi online seperti Go-Jek dan GrabBike. Rakyat pun menjadi tahu, beberapa menteri Jokowi ternyata “tidak pintar” menerjemahkan kebijakan bosnya. Ketika pada akhirnya Jokowi mereshuffle pembantunya, rakyat pun mahfum.
Orang-orang dekatnya (inner circle) yang sangat mudah menggunakan jurus “saya orangnya Jokowi” atau “Jokowi sudah menyetujui” ditelanjangi tanpa ampun. Pada kasus Papa MInta Saham, setidaknya ada tiga orang yang ditelanjangi yakni Menko Polhukam Luhut BInsar Panjaitan, Setya Novanto dan Sudirman Said sendiri. Surat jaminan Sudirman Said kepada PT Freeport tentang kelanjutan kontrak karya yang disebutnya sudah atas persetujuan Presiden, nyatanya hanya surat ‘pribadi’ Sudirman Said karena berulangkali Jokowi mengatakan dirinya belum mau membahas soal perpanjangan kontrak karya Freeport sampai 2019 sesuai ketentuan UU.
Politik blusukan dan makan siang yang menjadi andalan Jokowi ternyata juga sangat efektif untuk mengukur sekaligus memperkokoh kekuatan riil Jokowi di lapangan. Dalam setiap blusukan ke daerah, Jokowi mendapat masukan sekaligus gambaran nyata kekuatannya. Antusias masyarakat ketika menyambut Jokowi dalam setiap kunjungan kerja ke daerah yang terekspose media secara massif, adalah pesan tentang kekuatan yang dimilikinya.
Pesan itu pun akhirnya sampai kepada lawan-lawan politiknya sehingga mereka harus berpikir seribu kali untuk menjatuhkan Jokowi. Mahasiswa-mahasiswa yang selama ini menjadikan isu kenaikan BBM, listrik dan sembako untuk menyerang pemerintah, layu di era sekarang. Jika pun masih ada sekelompok mahasiswa yang berdemo tentang hal itu, mereka akan langsung berhadapan dengan rakyat, dihujat zonder ampun karena dianggap tidak mau sedikit berkorban untuk negara.
Apa salahnya sekarang kita membeli bensin dan sembako lebih mahal demi Indonesia yang lebih baik? Bukankah rakyat Korea, rakyat Thailand pernah menyumbangkan harta benda kepada negaranya ketika dilanda krisis ekonomi? Begitu kata (sebagian besar) rakyat. Sikap optimis bahwa Jokowi bekerja sungguh-sungguh demi kejayaan Indonesia tidak akan surut hanya karena isu sembako mahal!
Demikian juga dalam hal politik makan siang yang sudah dijadikan andalan sejak menjadi Walikota Solo. Jika dulu politik makan siang dimaksudkan untuk meredam aspirasi rakyatnya yang berbeda pendapat terkait suatu kebijakan- semisal relokasi pasar tradisonal, kini politik makan siang digunakan untuk mengukur dan mengumpulkan kekuatan politik. Benar bahwa idealisme, pola pikir atau pun pandangan politik seseorang tidak akan serta merta berubah hanya karena sepiring nasi.
Benar bahwa orang-orang yang diundang makan siang di istana sudah diseleksi sebelumnya. Benar pula bahwa lawan politiknya bisa saja menyusup dengan berpura-pura ikut makan siang di istana tetapi setelah itu menikam dari belakang. Tetapi, dalam filosofi orang Jawa- dan Jokowi menggunakannya, seseorang yang sudah 'diewongke‘, 'dipangku’ pasti akan ‘mati’ sebagaimana aksara Jawa.