Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Kebebasan Dokter dan Kemerdekaan Wartawan

Diperbarui: 2 Desember 2015   13:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bebasnya dr Bambang Suprapto dari jerat hukuman 18 bulan penjara, menjadi kabar yang sangat menggembirakan bukan hanya bagi kalangan dokter namun juga wartawan.

Seperti diketahui dr Bambang sebelumnya divonis 18 bulan penjara oleh Mahkamah Agung karena terbukti melakukan operasi usus tanpa izin dan lalai sehingga menyebabkan kematian pasiennya setahun kemudian. Namun Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Bambang dikabulkan karena pasal 76 dan 79 Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran yang dipakai untuk menjerat dr Bambang sudah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi pada 19 Juni 2007. Menariknya, Hakim Agung yang memberi vonis 18 bulan penjara adalah hakim-hakim yang selama ini dikenal sangat tegas dan cermat dalam memutus perkara yakni Dr Artidjo Alkostar, Prof Dr Surya Jaya dan Dr Andi Samdan Nganro.

Mengapa vonis bebas yang diputus majelis hakim PK terhadap perkara yang menjerat dr Bambang, merupakan kabar baik pula bagi wartawan?

Profesi adalah suatu pekerjaan yang dilakukan dengan keahlian tertentu, memiliki asosiasi, kode etik dan serta sertifikasi atas keahliannya. Dari rumusan itu, pekerjaan yang ditekuni oleh dokter dan wartawan (untuk menyebut beberapa di antaranya saja) termasuk profesi. Kesamaan tersebut mestinya juga berlaku di depan hukum yakni manakala terjadi kesalahan yang dilakukan oleh pelaku bidang itu, digunakan undang-undang sesuai profesi masing-masing yakni UU Kedokteran dan UU No. 40/1999 tentang Pokok Pokok Pers.

Namun ada perbedaan mendasar terkait kedua UU tersebut menyangkut hukuman. Jika dalam UU Kedokteran pasal yang memungkinkan seorang dokter dipenjara akibat kelalaiannya dalam bekerja yakni pasal 76 dan 79, dianulir oleh MK, UU Pers yang tidak memiliki “pasal penjara” justru diotak-atik agar ada sanksi penjara bagi wartawan pembuat/pemuat berita yang melanggar kode etik (umumnya dianggap tidak memenuhi unsur cover both side dan fitnah/pencemaran nama baik).

Aku bersyukur karena niatan sejumlah orang yang ingin merubah UU Pers dengan tujuan memasukan “pasal penjara” agar bisa menjadi UU yang bersifat lex specialis, belum terlaksana. Sebab alasan tanpa adanya sanksi penjara, UU Pers tidak bisa disebut lex specialis sehingga penegak hukum cenderung menggunakan KUHP ketika mendapat aduan terkait dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan wartawan, jelas mengada-ada. Jika mengacu kepada UU Kedokteran, ternyata tanpa “pasal penjara” pasca dianulirnya pasal 76 dan 79, UU tersebut tetap bersifat lex specialis sehingga seorang dokter tidak bisa disangka bersalah dengan pasal KUHP yang bersifat umum (lex generalis).

Sanksi denda sebagaimana yang diatur dalam UU Kedokteran dan juga UU Pers, sudah adil untuk membuat jera oknum-oknum di kedua bidang tersebut manakala mereka melakukan kesalahan dalam bekerja.

Jadi, jika sampai hari ini masih banyak wartawan yang diadili, minimal ditakut-takuti dengan pasal KUHP, semoga dengan pembebasan dr Bambang, hal itu tidak akan terjadi lagi. Dokter bebas bekerja dan wartawan sepenuhnya merdeka dalam membuat berita, tanpa dibayang-bayangi penjara. Tentu harus sesuai koridor yang tercantum dalam UU dan juga kode etik profesi.

 

Salam….@yb




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline