Lihat ke Halaman Asli

Menguji Seberapa dalam Pernyataan

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Untuk menguji seberapa dalam pernyataanmu sangat gampang, kok. Ketika kamu benar emosi, pasti ada sesuatu yang terpendam dalam dadamu yang menggelegak, bergerak, naik ke permukaan, ingin kamu lontarkan sebagai pembelaan diri. Ini tanda kebenaran dari pernyataan lama, untuk menunjukkan kebijakan sesorang, atau tidak. Sampai kita berespon secara emosional terhadap segala sesuatu yang menyerang kita dari luar, sebelumnya kita belum terbukti ada keterikatan masalah. Saat beremosi, terikat masalahlah kita. Dan ketika kamu membuka semua jasamu terhadapku, kau pamerkan bahwa kamu benar-benar telah menjadi penolongku ... di situlah sesungguhnya tempat ketidaktulusanmu. Jelas kamu memendam pamrih. Dan pamrih itu kamu akui secara tak sengaja saat merespon pengaruh dari luar dirimu secara emosional itu. Dapat kukata 50 persenlah kamu benar begitu. Mengapa kuberi setengah saja? Karena jelas itu kebenaran umum dari sebuah pendapat di luar kenyataan itu sendiri. Begitu kuberi tambah satu atau setengah atau seperempat atau seperseratus saja ... aku telah tidak bertindak adil, dan menjadi hakim atasmu. Sedang keadilan, penghakiman dan hakim sendiri bukan milikku. Tapi milik Tuhan.

Ini semacam perbandingan. Ketika kita dihadapkan kepada suatu pilihan. Jauh-jauh teman akan menraktir kita membeli buku. Tetapi ternyata buku itu buku bajakan. Akan apa kita? Sudah telanjur kita memilih. Buku bajakan seharga Rp 10.000 per buku. Mau dibatalkan? Tidaklah. Buku itu mematikan selera. Seringkali kita menjual buku asli untuk memperrtaruhkan idealisme. Ternyata mau dan bersuka membeli buku bajakan? Baiklah kuambil jalan tengah saja. Kupilih buku ilmu-ilmu pengetahuan, bukan buku sastra. Buku ilmu pengetahuan merupakan bajakan-bajakan dari kaidah-kaidah ilmu yang menjadi referensi. Sedang buku sastra adalah karya utama dan inisiatif orisinil seseorang. Kalau aku berdosa dan jahat atas perbuatanku ikut pesta buku bajakan itu, setidaknya hanya 50 persen. Sisanya masih ada kebenarannya, yang juga 50 persen. Sedang motif teman yang menraktir itu semata-mata mulia, apalagi baru pertama kali dia ke situ. Ini sebuah langkah jalan tengah? Mungkin, dan setidaknya aku bukan hakim, biarlah setengah dari dosa ini kutanggung. Itu kan belum memenuhi kuorum, dan aku tidak berdosa karenanya. Aman, masuk katagori benar. Mungkin pembenaran macam ini yang kamu lontarkan dan tekankan kepada dirimu sendiri. Aku tahu pasti itu. Memang sekarang jaman jalan tengah. Nyata dan tak bisa dibantah ... Dan mungkin kamu senang aku mengaku dosa ini ... Dan tertawa ... Tidak masalah ... Bagiku hanya langgam kerja ... melawan dengan sebuah langkah terseret

Ketika aku mengonsultasikan pilihan langkah macam itu pada kawan segaris, barangkali memang tidak mudah jalan pilihan. Aku bertanya di mana tindakan hitam putih harus dijalankan, di mana tindakan abu-abu. Abu-abu ternyata milik semua orang meski segaris sejalan. Misalnya kawanmu berjuang setengah mati u8ntuk rakyat, namun dia ternyata mau bergerak ke partai yang berlawanan dengan partainya. Apa sebutan dan posisi orang yang tampak berkhianat ini? Mungkin kamu menyebutnya pengkhianat seperti umumnya kebanyakan orang. Tapi bisa saja dia di situ melakukan misi rahasia, menjadi mata-mata, biro khusus yang partai yang hanya tahu. Kamu mau apa kalau sudah dijelaskan macam ini? Kamu tetap hanya akan berpikir semoga langkahnya itu juga tidak lebih dari 50 persen tadi. Lebih nol koma berapapapun saja sudah merupakan pengkhianatan. Tapi kalau masih 50 persen, belum, sebab di situ masih ada laporan pertanggungjawaban dan kontrol partai terhadapnya agar benar-benar posisinya adalah petugas khusus menyusup ke wilayah musuh. Selebihnya dia masih benar, meski orang luar siapapun tahu dia musuhmu ...

Nah, makin jelas bukan bahwa pada setiap diri orang itu ada berbagai macam karakter. karakter wayanglah yang mungkin paling dekat dengan budayamu. Seseorang bukan semata-mata Sengkuni, tapi sangat mungkin ada karakter ini pada dirinya. Demikian juga karakter Yudistira, dan lain sebagainya. Kemunculannya tidak tentu, tergantung pada kepentingan dan komposisi energi yang sedang berproses di dalam dirinya. Kamu yang mengaku pejuang rakyat dan menyuarakan perlawanan terhadap siapapun yang menindas rakyat, acapkali melihat ternyata para pejuang bahkan kawan bahkan pimpinanmu pun melakukan sesuatu yang justru berlawanan dengan azimat perjuangannya itu. Tapi secara hukum garis juang ia toh tetap tidak disalahkan bahkan didukung dan tetap bertempat pada posisi penggerak. Kamu tidak dapat apa-apa kan terhadap hal ini, semata-mata kedudukanmu yang memaksamu menerima. Dalam kehidupan jenis apapun sama saja. Dalam diri orang akan selalu bertabrakan segala macam persepsi, opini bahkan tendensi. Semua serba naik turun, semua serba tidak terstruktur, terstruktur pun dapat dengan mudah berubah susunan dan orkestranya. Mirip kamu menghadapi istri atau suami tercinta sendiri. Seolah-olah kamu sudah kenal ... ternyata dia bisa menjadi orang asing sama sekali. Apalagi hanya teman ... atau orang yang baru kenal, tepatnya kita merasa kenal ... Agaknya semua hanya baik-baik saja di depan hanya untuk menjaga hubungan sosial yang aman-aman .., tanpa konflik. Padahal kalau sudah berkonflik dan kita menemukan apa esensi sesungguhnya dari masalah yang dipermasalahkan ... adalah setengah jalan kita menuju kepada suatu solusi masalah yang konkrit.

Begitu banyak unsur terhadap sutu pilihan tindakan. Unsur suka atau tidak, unsur masa lalu, kesakitan, trauma terhadap perlakuan yang pernah diterimanya terkait orang yang dihadapi, unsur intrinsik lain dari pelaku, unsur ekstrinsik dan masih banyak lagi. Semuanya berkelindan saling jerat menjerat saling mengikat dan bisa jadi semrawut kamu sulit menilai apa sesungguhnya tendensi di balik semua itu. kamu hanya mampu melihat tanda-tandanya. Itulah sebabnya jauh-jauh hari Firman Tuihan berpesan, jangan menghakimi sesamamu manusia. Penghakiman hanya milik Tuhan. Namun begitu banyak kamu yang menolak pernyataan ini dengan alsan memperpendek usia pemikiran. Baiklah, teruiskan saja kami meneliti dan menelaah semua tendensi tingkah laku pertempuranmu dengan nilai-nilai yang makin tercerabut dari akar dan dasarnya itu. makanya kamu jangan heran bahwa di negara garis keras, para pejuang yang telah berjasa namun bersalah pun, meski sedikit tapi tetap dianggap melawan garis perjuangan, orang-orang itu juga pantas dan siap dihukum mati. Bedanya kamu dengan mereka yang garis keras ini, kamu masih terlalu cinta hidup, dan tidak siap dikritik. Apapun yang dikatakan kawan dan lawanmu, kamu anggap menggoyahkan stabilitas jiwa dan karirmu. maka kamu merah wajah. malu dan benci. Padahal penembak kata-kata terhadapmu jelas, sekali lagi jelas kukatakan mereka juga acap diperhadapkan ke persimpangan jalan, dan salah melangkah ...

Ini lagi perbedaanmu dan mereka, dan ia. Kamu begitu merasa diserang dengan kata-kata tajam, lantas mengerut seperti trenggiling atau siput atau kura-kura, bahkan landak. Duri bercokolan dalam tubuhmu menegak dan menyerang baik tanpa kamu bergerak. Itulah kamu. Tanpa mau melihat penyerangmu kamu menghunus pedang-pedang runcing itu dengan harapan tangan dan tubuhnya berdarah-darah. Dan kamu senang. Tidak demikian dengan ia yang menyerangmu. Kadangkala ia sendiri juga dimunculi dengan roh-roh bukan Roh Kudus dari dalam dirinya. Kamu ingat bukan buah-buah roh itu? Padanya saat di persimpangan itu tidak muncul yang baik dan benar dan mulia itu. Ia gelisah kalau telah melangkah salah. Meski latar pilihannya kompleks juga, demi banyak kebaikan. Gelisahnya membuat ia tidak berhenti dan memberdarahkan tangan musuh. Biar ia cuci sendiri darah itu, dengan memberikan apa yang ia punya sebagai penebus dosa. Ujiannya berhasil. Hatinya tidak merasa gelisah lagi. Hati nuraninya ia turuti dan ia terang. lega ia. Roman mukanya berseri. Pergumulannya terhadap masalahnya usai. Ia memang telah kehilangan. Tapi karena ia berbisnis secara fair ... maka hatinya nyaman. Sebuah perlawanan telah ia menangkan, meski sesungguhnya di belakangnya suara-suara mencibir ia dengar, meski tak menggerakkan gendang telinganya ... Itu konsekuansi dari langkahnya. Dan ia tidak terkapar. Ia jatuh namun tak terhempas.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline