Tahun 1973 menjadi awal mula kebangkitan rezim diktator Uruguay dibawah presiden Juan Maria Bordaberry. Sistem pemerintahan diktator yang berjalan selama 12 tahun menggantikan sistem demokrasi tersebut juga disebut sebagai tahun-tahun kelam pemerintahan Uruguay, sebelum akhirnya sistem demokrasi bangkit kembali di tahun 1984.
Seiring dengan bangkitnya rezim tersebut, maka dimusnahkan jugalah berbagai bentuk kelompok politik yang dianggap berlawanan dengan pemerintah termasuk Partai Komunis Uruguay dan kelompok gerilyawan Tupamaro. Tanggal 7 September 1973, 9 anggota Tupamaro yang merupakan kelompok pemberontak berpaham Marxisme, kemudian menjadi sasaran empuk rezim untuk ditangkap, disiksa dan dipenjarakan.
Peran mereka sebagai Robin Hood-nya Uruguay karena kerap membobol bank untuk kemudian dibagikan ke rakyat miskin, harus berhenti karena takluk dengan tangan besi pemerintahan. Rakyat kehilangan pahlawannya namun pemerintah mendapatkan musuh besarnya.
A Twelve Year Night kemudian menceritakan kisah kelam tiga anggota Tupamaro yang selamat dan bertahan hidup selama 12 tahun mendekam dalam penjara politik yang kejam. Ketiga orang tersebut adalah Jose Mujica(Antonio de la Torre), Mauricio Rosencof(Chino Darin) dan Eleuterio "Nato" Fernandez Huidobro(Alfonso Tort).
Sejak awal kita sudah diperlihatkan kejamnya penjara politik tanpa tedeng aling-aling. Mereka disekap, diikat bahkan kepalanya ditutupi dengan karung goni yang disiram bensin. Selama berjam-jam mereka terpaksa bernapas dengan aroma bensin yang terus terhirup hingga kain mengering di pagi hari.
Tak cukup dengan siksaan tersebut, merekapun kerap dipukuli, diberi makan tak layak hingga berbagai penyiksaan lainnya yang tak manusiawi. Bahkan untuk urusan buang hajat pun, tempat yang tak layak menjadi semacam siksaan tambahan bagi mereka.
Dari penjara satu ke penjara lainnya mereka dipindahkan. Dari satu siksaan ke siksaan lainnya mereka dihadapkan, namun tak juga membuat mereka gentar. Masih adanya secercah harapan dan keyakinan akan kebebasan lah yang kemudian menguatkan mereka untuk bertahan hidup dalam gelapnya penjara hingga 12 tahun kemudian.
"Jika tidak bisa membuat mereka mati, setidaknya buatlah mereka gila"
Mungkin sudah jadi rahasia umum bahwa para tahanan politik dimanapun berada akan mengalami penyiksaan yang berujung pada kematian atau kegilaan. Hanya saja kita tidak pernah tahu seperti apa jenis penyiksaannya.
Dan ternyata, lewat film ini kita jadi mengerti. Betapa penjara politik merupakan tempat yang tak hanya kejam untuk fisik namun juga mental. Mereka bahkan lebih senang melihat tawanan terjepit hingga mengalami kegilaan dibandingkan harus mati dengan cepat di tempat tersebut.
Sang sutradara, Alvaro Brechner dengan jujur menampilkan kondisi penjara yang jauh dari kata layak. Kotor, sempit, penuh tikus, bahkan tak diizinkan secercah cahaya untuk masuk ke dalam ruang penjara, menjadikan siapapun orang yang masuk akan mengalami gangguan kejiwaan ataupun mati secara perlahan. Namun tekad yang kuat serta secercah harapan akan kehidupan yang lebih baik di masa depan itulah yang membuat ketiga tawanan tersebut tetap hidup.