Film Jepang memang terkenal dengan ide cerita sederhana yang diangkat dari drama kehidupan sehari-hari, namun tetap memasukkan unsur humanis dan pesan kehidupan yang kuat. Itulah mengapa film Jepang selalu memberikan pengalaman menonton yang cukup berbeda dari kebanyakan film Hollywood. Termasuk film Shoplifters yang saya tonton minggu lalu di Pekan Sinema Jepang yang diadakan di CGV Grand Indonesia.
Film garapan Hirokazu Kore-eda ini berhasil meraih Palme d'Or di festival film Cannes tahun lalu. Sebelum memenangi Palme d'or, Kore-eda yang terkenal dengan berbagai film kelas festivalnya, memang telah banyak menerima penghargaan di berbagai festival film sebelumnya. Dilansir dari laman imdb.com, total 49 kemenangan telah diraihnya dari total 76 nominasi yang diterimanya.
Bahkan yang terbaru, Shoplifters berhasil masuk ke dalam shortlisted kategori Best Foreign Film di ajang Oscar 2019 bersama 9 nominator lainnya termasuk Roma. Mengalahkan puluhan film berbahasa asing lainnya dari seluruh dunia termasuk film nasional kebanggaan kita Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak.
Ide cerita Shoplifters ini bisa dibilang sederhana namun juga jujur dalam bertutur. Secara garis besar film ini menyampaikan 3 poin utama yaitu hubungan antar keluarga, cara bertahan hidup masing-masing anggota serta ditutup pertanyaan tentang arti keluarga sebenarnya ketika berbagai fakta negatif muncul menaungi. Semua poin tersebut kemudian dibungkus dengan kisah yang hangat serta tak lupa menambahkan bumbu kritik sosial yang kental.
Bukan Film Keluarga Cemara
Sepintas Shoplifters nampaknya menjanjikan sebuah kisah keluarga hangat nan menggugah layaknya Keluarga Cemara. Dilihat dari posternya saja memang nampaknya film ini menyajikan hal sejenis. Tapi sayang, film ini sama sekali tidak menyajikan kisah seperti keluarga Abah dan Emak. Shoplifters justru lebih kaya dari itu.
Shoplifters tidak hanya bertutur tentang keluarga baik-baik yang bekerja dengan cara baik di dunia yang dikelilingi dengan hal-hal jahat. Shoplifters justru bercerita dengan jujur bahwa segala hal yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, juga tetap dipandang baik oleh keluarga meskipun hal yang dilakukan tersebut merupakan hal yang jahat. Tak peduli anggapan orang lain, keluarga adalah yang utama.
Adegan dimulai kala Osamu Shibata(Lili Franky) bersama anak laki-lakinya Shota(Jyo Kairi) mengunjungi sebuah supermarket. Sebuah adegan sederhana nan memukau yang langsung memperkenalkan kita dengan tokoh utama dan pekerjaannya. Dimana kemudian memperlihatkan kelihaian bapak anak tersebut memasukkan beberapa barang ke dalam tas untuk dikonsumsi bersama anggota keluarga lainnya di rumah.
Namun sepulangnya mereka dari supermarket, Osamu dan Shota menemukan seorang gadis kecil di tumpukan sampah bernama Yuri(Miyu Sasaki). Terdorong rasa kasihan melihat kondisinya, Osamu pun membawa pulang Yuri untuk bisa ikut makan dan beristirahat.
Kedatangan Yuri pun menimbulkan pro dan kontra dari anggota keluarga yang lain yaitu sang istri Nobuyo(Sakura Ando), adik perempuan Nobuyo bernama Aki(Mayu Matsuoka) dan nenek Hatsue(Kirin Kiki), hingga akhirnya diputuskan untuk memulangkan Yuri ke tempat asalnya.
Namun ternyata Yuri merupakan anak yang ditolak oleh kedua orangtuanya, sehingga Nobuyo dan Osamu memutuskan untuk membiarkan Yuri tinggal di rumah mereka. Tinggalnya Yuri di rumah mereka pada akhirnya memunculkan banyak fakta baru. Bukan hanya terkait fakta keluarga asli Yuri namun juga fakta terkait masa lalu Shibata yang cukup kelam. Fakta-fakta yang kemudian tampil kontradiktif dengan kehangatan yang selama ini muncul diantara mereka.
Kritik Sosial yang Jujur Film ini banyak sekali menyelipkan kritik sosial yang notabene banyak terjadi di Jepang khususnya pada kelas sosial bawah. Dan hal tersebut diinterpretasikan oleh masing-masing karakter pendukungnya dengan narasi yang jujur, faktual dan tajam.
Osamu yang merupakan buruh bangunan misalnya, terpaksa melakukan pencurian kecil-kecilan karena pendapatannya tak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari keluarganya yang berjumlah 5 orang. Shota pun menjadi anak yang melewati masa-masa wajib sekolah. Bukan hanya karena masalah ekonomi, Shota memang sengaja tidak boleh sekolah oleh sang ayah dengan sebuah alasan klise yang tentunya bakal dibuka di akhir kisah.
Tidak bisa sekolahnya Shota juga menyebabkan dia menjalani hari-harinya di jalan. Melakukan kegiatan mencuri setiap harinya merupakan rutinitas yang terus dilakukannya. Sebuah mata rantai negatif yang tentunya disebabkan oleh orangtuanya.