Lima menit pertama film ini mungkin terasa membosankan. Sebuah pengambilan gambar statis hitam putih dimana memperlihatkan lantai yang sedikit demi sedikit tersiram air dan campuran sabun, dengan deretan nama-nama tim produksi film yang kemudian muncul bergantian satu persatu.
Lima menit pertama juga yang membuat kita tersadar bahwa tak seharusnya film dengan detail gambar seindah ini, ditayangkan hanya pada platform film streaming Netflix. Sebuah film yang seharusnya dan selayaknya tampil di layar lebih besar dan lebar, dimana mampu mengalihkan kita dari kebisingan dunia luar untuk kemudian fokus dan menyatu dengan filmnya di dalam bioskop. Sebuah film yang memang pantas untuk menjadi salah satu film paling ditunggu di tahun 2018.
Tapi itulah yang memang diinginkan Alfonso Cuaron. Sutradara jenius nan visioner yang mampu menaikkan kualitas franchise Harry Potter dalam seri Prisoner of Azkaban, atau visionernya kisah dalam Children of Men yang membuat filmnya terus dibicarakan bertahun-tahun kemudian meskipun gagal secara komersil, hingga sebuah thriller psikologis angkasa luar dengan pendekatan what if realistis dalam Gravity.
Cuaron ingin membuat filmnya kali ini nampak lebih sarat makna pada setiap detail pengambilan gambarnya, meskipun hanya bisa dinikmati melalui layar televisi ataupun layar gawai.
Roma dan Ingatan Masa Kecil Cuaron Berdasarkan kisah nyata yang konon dialami Cuaron di masa kecilnya, Roma menyajikan sebuah kisah sederhana nan hangat dalam layar monokrom hitam putih. Pewarnaan minimalis yang sengaja dipilih Cuaron untuk menumpahkan setiap elemen kisahnya secara maksimal tanpa terganggu dengan keharusan memberi efek spesial yang bombastis.
Roma membawa latar kisah tentang keluarga menengah atas di sebuah distrik bernama Roma di Mexico City, Mexico sekitar tahun 1970-an. Keluarga yang digambarkan sangat harmonis, kompak juga sayang terhadap setiap anggota keluarganya termasuk kepada dua orang asisten rumah tangganya. Keluarga yang juga mengalami tahun politik Mexico yang cukup kelam kala meletusnya pembantaian Corpus Christo yang terkenal itu.
Namun Roma bukanlah film yang menceritakan lika-liku keluarga tersebut, bukan juga berfokus pada kelamnya tahun politik Mexico kala itu. Roma justru fokus pada kisah sang asisten rumah tangga, Cleo(Yalitza Aparicio) dalam perjalanan hidupnya yang penuh warna juga tragedi. Tragedi yang berawal dari pertemuannya dengan lelaki pegiat bela diri bernama Fermin( Jorge Antonio), yang dikemudian hari memberinya kehamilan yang tak diduga.
Cleo yang ada di posisi lemah hanya bisa menerima nasibnya kala Fermin meninggalkannya dan tak mau mengakui anak yang dikandungnya. Cleo yang jujur mengutarakan kisah tragisnya ke sang ibu majikan bernama Sofia(Marina de Tavira), kemudian menerima kehangatan yang tulus dari Sofia dan keluarganya.
Cleo tidak ditolak, tidak juga dipecat dan direndahkan. Cleo justru menerima kekuatan baru untuk hidup, namun di satu sisi juga terpaksa menjadi saksi turbulensi kehidupan yang dialami keluarga Sofia.
Visualisasi Hitam Putih yang Elegan
Diatas kertas, Roma tidak terlihat sebagai film yang selayaknya menjadi penantang serius dalam suatu ajang penghargaan. Penggunaan warna monokrom yang dianggap jadul untuk sebuah era dimana visual surealis penuh warna menjadi jualan utama, juga deretan pemeran utamanya yang tak dikenal industri Hollywood, menjadi beberapa alasan yang nyatanya mampu diputar balikkan secara elegan oleh Alfonso Cuaron.
Setiap gambar yang dihasilkan film ini begitu detail dan memukau. Hal ini dikarenakan Alfonso Cuaron juga lah yang turun langsung sebagai sinematografer film ini sehingga bisa memaksimalkan visinya.