Perjalanan dan perkembangan film nasional di Indonesia sejatinya telah melalui proses yang cukup panjang.
Diawali dengan film bisu pertama yang diproduksi di tahun 1926 berjudul Loetoeng Kasaroeng, sutradara Belanda yaitu G.Kruger dan L.Heuveldorp berhasil memperkenalkan film ke masyarakat Indonesia dengan cerita legenda tanah air populer.
Meskipun dibesut oleh sutradara asal Belanda, nyatanya film yang ditayangkan pertama kali di teater Elite and Majestic yang berada di kota Bandung ini, didukung oleh aktor-aktor lokal pada masa itu. Meskipun film ini mengangkat legenda lokal, pada kenyataannya film ini kurang laris di pasar Indonesia sendiri.
Masih terkotak-kotaknya kebudayaan masyarakat pada saat itu menyebabkan film ini kurang laris di luar Jawa Barat, pun kurangnya pendanaan menjadikan kualitas film ini tak sebaik film-film import pada masa itu.
Namun di balik segala kekurangannya, film tersebut lah yang kelak menjadi sumber inspirasi dan pelecut semangat bagi masyarakat Indonesia untuk bisa memproduksi film sendiri tanpa adanya bantuan asing. Yang kemudian kita semua tahu bahwa tepat di tanggal 30 Maret 1950, menjadi hari pertama pengambilan gambar film Darah dan Doa atau Long March of Siliwangi yang dibesut oleh Usmar Ismail.
Ya, Usmar Ismail menjadi sutradara pertama asal Indonesia yang berhasil menciptakan film lokal pertama yang memiliki ciri dan semangat Indonesia yang sangat kental. Dan tanggal ini juga lah yang akhirnya ditetapkan sebagai hari film nasional di Indonesia.
Setelahnya pun kita semua mengetahui bahwa di era 1950-1970-an, Usmar Ismail menjadi sutradara Indonesia terproduktif yang mampu menciptakan karya-karya yang tidak hanya bagus secara cerita, namun juga kualitasnya diakui oleh khalayak internasional lewat berbagai filmnya yang ditayangkan di berbagai festival film dunia seperti Canness Film Festival,Hong Kong Film Festival dan Vennice Film Festival.
Sebut saja karya-karyanya seperti Tamu Agung yang merupakan komedi satir berisikan kritik cerdas kepada pemerintahan, Lewat Djam Malam yang berkisah tentang mantan tentara yang berjuang melawan korupsi, Tiga Dara yang merupakan drama musikal yang terinspirasi film Hollywood tahun 1936 berjudul Three Smart Girls, dan juga Anak Perawan di Sarang Penyamun yang merupakan adaptasi novel karya Sutan Takdir Alisjahbana,yang kemunculannya juga sempat menjadi polemik karena situasi politik pada saat itu.
Periode Keemasan Perfilman Indonesia
Periode 1980-1990-an kemudian menjadi zaman keemasan film Indonesia. Meskipun didominasi film berbudget rendah, faktanya justru di tahun-tahun tersebut lah film-film Indonesia dikenal lebih luas tidak hanya di dalam negeri saja,namun juga di luar negeri. Sebut saja film-film seperti Lady Terminator, Pengabdi Setan dan Final Score telah melanglang buana ke berbagai negara dan sukses menjadi cult film di beberapa negara.
Di dalam negeri pun film-film seperti Catatan si Boydan Lupussukses menjadi ikon pop culture di Indonesia. Dari mulai gaya berpakaian,musik, potongan rambut, sampai gaya hidup anak-anak muda jaman itu pun turut dipengaruhi oleh karakter seperti Boy dan Lupus.