Setelah reformasi, hal yang paling menonjol dalam perkembangan di Indoensia dan global adalah teknologi informasi. Kita tahu internet berkembang sedemikian rupa sehingga banyak hal menjadi mudah. Termasuk juga penemuan media sosial, membuat banyak hal terbantu dan tidak terbayangkan sebelumnya.
Namun kemajuan teknologi informasi termasuk media sosial atau dunia maya, yang semula hanya untuk kesenangan semata, kini berubah menjadi peluru yang bisa membuat sial atau pesakitan. Kita bisa melihat dunia maya sering menjadi alat untuk memojokkan orang, menghina orang atau sebaliknya, meninggikan orang sampai membuat orang tenar.
Jika beberapa dekade lalu, seorang artis menjadi terkenal karena diorbitkan oleh televisi atau koran melalui iklan-iklannya. Memasang iklan bukan perkara mudah karena pasti mahal sekali. Namun pada masa kini, dimana seseorang sebenarnya punya "media pribadi " dimana media sosial atau dunia maya, seseorang bisa menjadi terkenal. Banyak selebram yang lahir mada masa kini karena ybs ramah algoritma, alias postingannya banyak di-klik orang.
Dunia maya yang berubah ini dan kadang seperti peluru yang saya ungkapkan di atas, sebenarnya sesuatu yang memang layak dikhawatirkan. Dunia maya tidak hanya menyasar sisi sosial saja namun juga politik dan itu jika dibiarkan akan berbahaya. Kita bisa melihat kemarin pada saat Pilpres di Amerika Serikat.
Dua kandidat , masing-masing Trump dan Kamala haris, di debat terbuka tampak saling mengeluarkan peluru mereka, berupa kata-kata yang tajam.
Jika kita lihat Trump seringkali melakukan itu namun diimbangi oleh Kamala Haris,kita seperti melihat dua petarung liar yang ingin saling membunuh dan membinasakan. "Peperangan" mereka berlanjut di dunia maya yang diikuti oleh ribuat bahkan jutaan orang pemilih mereka. Itulah gambaran cara Amerika berdemokrasi pada masa dunia maya menjadi salah satu peluru yang mematikan.
Sedikit banyak, demokrasi kita meniru AS. Dan fenomena menggunakan dunia maya sebagai medan pertempuran pernah terjadi pada peristiwa Pilkada Jakarta pada tahun 2017 lalu. Pilkada itu dinilai pemilihan umum yang paling brutal sepanjang sejarah, karena menggunakan politik identitas sebagai alat untuk menyerang kandidat lainnya.
Sekitar seminggu lagi kita menghadapi pilkada serentah di ratusan provinsi, kabupaten dan kota. Kita harus belajar dari Pilpres di AS dan Pilkada Jakarta 2017 lalu dengan menciptakan dunia maya yang kondusif jelang Pilkada 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H