Lihat ke Halaman Asli

Yola Widya

Freelancer

Satu Hari Penuh Kenangan

Diperbarui: 14 November 2024   16:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay

Dingin pagi mencericit di telinga. Membuat berdengung seumpama bunyi pesawat terbang yang menganggu pendengaran. Tapi terus saja kukayuh pedal sepeda jahanam ini. Rem rusaknya membuat sepatuku bolong.  Lama-lama hancur sudah alas kaki satu-satunya ini, batinku miris. Teringat wadah beras yang tinggal seperempat isinya di dapur. Mana tega aku merengek minta dibelikan sepatu baru pada bapak, keluhku lagi sambil terus membelah kabut yang dingin. Berkelok dan berkelok, menyalip, meluncur di turunan, terengah di tanjakan. Terus saja kukayuh sepeda tua yang tak kunjung diganti Bapak. Entah sampai kapan sanggup mengayuh hingga puluhan kilometer menggunakan besi karatan ini. Tekadku hanya satu, harus menimba banyak ilmu. Aku tak mau hidup miskin karena tak punya pekerjaan yang layak. Tidak seperti Bapak yang jadi kuli di ladang tebu. Pekerjaan mulia penuh tenaga dan keringat yang takkan pernah jadi cita-citaku. Aku harus menjadi diriku yang penuh mimpi.

***

"Tunggu, Pak! Jangan ditutup dulu!"

Teriakanku berhasil mencegah satpam sekolah menutup gerbang sekolah. Tetap saja mepet waktunya padahal sudah kukayuh sekencang mungkin sepedanya.

"Telat satu menit saja harus balik lagi kamu, Pian!"

Suara satpam memekak di telinga. Aku hanya sempat mengacungkan jempol pada pria setengah baya itu. Gara-gara diriku ini satpam tua itu selalu gagal menutup gerbang sekolah tepat pada waktunya. Apa cuma aku yang selalu membuatnya mengomel?

Tak ada waktu memikirkan kesulitan orang lain saat ini. Tadi bangunku sangat kesiangan. Sampai Emak memaksa untuk membawa bekal makan siang, karena melihat sarapanku sangat sedikit. Tentu saja aku menolak tegas. Gengsi sekali harus membawa bekal ke sekolah. Lebih baik sibuk membaca buku sambil menahan lapar daripada ditonton anak-anak makan bekal.

"Telat lagi Pian?" Suara menggelegar dari belakang kelas membuatku berhenti berlari.

Sialan! Pak Supri sedang mengabsen satu kelas rupanya. Guru yang satu ini memang rajinnya kebangetan. Selalu saja ingin mengabsen sambil berinteraksi dengan murid-muridnya. Maksudnya baik, tapi aku dan teman lainnya malah jadi merasa dimata-matai. Kami sekelas jadi harus terlihat siap siaga menghadapi pelajaran. Semuanya harus lengkap, termasuk seragam bengkel. Tiba-tiba aku terhenyak. Astaga, seragam bengkel!

"Mana seragam bengkelmu, Pian?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline