Lihat ke Halaman Asli

Yolanda Tania

Mahasiswa

Niya dan Natsani

Diperbarui: 17 Maret 2024   14:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam ini, cakrawala terlihat sangat menakjubkan. Ribuan lintang kemerlip bak lampu jalanan ibukota.

Terlihat dari jauh sana, punggung dua orang perempuan yang sedang duduk di tepi pantai. Mataku sedikit memicing untuk memastikan bahwa di sana ada orang. Aku menebak mereka perempuan karena rambutnya. Dua perempuan dengan warna baju yang sama, coklat muda seperti nya. Mataku masih belum menangkap dengan jelas. Perempuan sebelah kiri menggerai rambutnya, sedangkan sebelah kanan mengikatnya. Aku terus berjalan maju untuk mendekati mereka.

Sampai beberapa langkah lagi aku menggapai mereka, terlihat salah satu bahu perempuan itu bergerak naik turun, sepertinya sedang menangis sesenggukan, aku menghentikan langkahku, jujur ini kurang sopan, aku menguping pembicaraan mereka.

"Ni, kenapa ya? Setiap gue cari orang yang baru, mesti selalu terpaku sama Fajar. Apa-apa selalu Fajar. Gue ngga bisa, dan belum menemukan sosok yang sama persis dengan Fajar." ujar perempuan dengan rambut yang digerai. Rambutnya lumayan panjang, panjangnya sekitar sepinggang, berwarna hitam pekat, dan sepertinya sangat halus, tanganku sudah gatal ingin mengusap kepalanya. Aku bukan lelaki yang baik, tapi aku tidak sanggup melihat perempuan menangis dihadapanku, meskipun aku tidak mengenalnya. Ingin rasanya memberikan solusi, seenggaknya aku bisa menenangkan perempuan itu. Apalagi setelah mendengar penyebab dia menangis, rasanya aku ingin segera berlari lalu memeluk erat gadis itu. Aku pernah merasakan kehilangan sosok gadis yang sangat mencintaku, kehilangan, ya kehilangan untuk selamanya. Kini gadisku sudah tenang dengan dunia barunya, aku tidak bisa mengusiknya lagi. 

Aku tersenyum kecil, saat mengingat kekonyolan gadisku dulu, semasa dia masih mengejar ku dan selalu meminta waktuku. Sudahlah, penyesalan menang datang terlambat, dan aku pun mengakuinya, bahwa dia cinta terakhirku sampai saat ini.

Lamunanku buyar, ketika melihat perempuan itu kembali menangis, kini tangisnya pecah. Sial, tekadku semakin kuat untuk mendekatinya lalu memeluknya erat. Namun aku belum mengenal siapa mereka, aku takut mereka mengira aku seseorang yang ingin berbuat jahat. Aku tetap berdiri di belakang dua perempuan itu, jaraknya lumayan dekat, tetapi mereka tidak menyadari kehadiranku.

Perempuan dengan sapaan "Ni" itu langsung memeluknya, aku sedikit lega, lalu mendengarkan kembali percakapan mereka.

"Nat, semua orang pasti mengalami yang namanya kegagalan, entah itu gagal dalam karir, percintaan, bahkan banyak kegagalan yang lain, Nat. Lo sekarang sedang berada dalam fase itu, and inget semuanya butuh proses, kupu-kupu pernah jadi kepompong untuk mendapatkan rupanya sangat menawan, begitu pula kehidupan Nat. Suatu saat nanti, Lo bakal jadi sosok yang sangat beruntung pernah mengalami fase ini." Ucap perempuan yang mempunyai sapaan "Ni" entalah aku belum mengetahui nama mereka berdua, tadi sempat ku dengar mereka saling sapa menggunakan sebutan "Nat, dan Ni"

Ni memeluk sahabatnya dengan erat, sambil mengusap pelan punggung sahabatnya. Yaa, aku menebak mereka sepasang sahabat, mungkin persahabatan mereka sudah terjalin sangat lama, terbukti mereka bisa saling menenangkan, pikirku.

Aku masih mendengarkan tutur kata mereka, yang aku tangkap salah satu dari mereka masih gagal dalam proses melupakan, mungkin bahasa kerennya gagal move on. Perempuan dengan sapaan "Nat" masih terpaku dengan masa lalunya, dia benar-benar belum bisa mencari sosok pengganti masa lalunya, karena dia selalu mencari sosok Fajar ketika mencari orang baru. Aku jadi penasaran, Fajar ini bagaimana sosoknya, sampai-sampai bisa membuat hati perempuan ini terluka hebat. Apakah dia seorang pria yang sangat perfect, atau bahkan sangat peka? Makanya "Nat" masih belum bisa melupakan sosoknya. 

Setelah berbincang cukup lama, mereka saling terdiam, aku masih memantaunya. Hati kecilku menyuruh untuk mendekati mereka lalu mengajaknya berkenalan, namun otakku selalu menolaknya, seolah mereka saling berbisik di sebelah kiri dan kanan dengan pendapat yang bertolak-belakang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline