Lihat ke Halaman Asli

Yolanda Tania

Mahasiswa

Brobosan, Mas Aksa

Diperbarui: 27 Januari 2023   09:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam itu kota Yogyakarta kembali diguyur hujan. Tidak begitu deras. Sesekali diselingi bunyi cipratan air akibat hentakan kaki orang berlalu-lalang. Hujan seakan-akan mempunyai kekuatan untuk mengendalikan manusia, hanya karena hujan aktivitas manusia jadi tertunda.

Sejujurnya aku tidak begitu menyukai hujan. Suara guntur mulai terdengar, dan derasnya air semakin deras membuat keadaan semakin mencekam. Aku berdiri disebuah halte bus untuk menunggu seseorang menjemput ku. Seraya menunggu, aku merasakan sesuatu yang bergetar dari saku celanaku, yang bersumber dari getaran ponsel. Tertera nama "Mas Aksa" memanggilku.

"De, Mas Aksa sepertinya tidak bisa menjemput kamu malam ini. Tadi Pak Hasan meminta Mas untuk datang ke rumahnya." Terdengar suara khas Mas Aksa dari seberang telepon sana.

"Iya Mas, nanti Malya pulang naik angkutan umum." jawabku lesu, padahal sudah setengah jam aku menunggu Mas Aksa di sini. Telepon terputus sebelah pihak, tadinya aku akan mengeluarkan jurusku untuk merengek ke Mas Aksa agar dia berubah pikiran dan mau menjemput ku. Aku menghentakkan kaki merasa kesal, sudah pukul delapan malam, mana mungkin ada angkutan umum. 

Aku masih menunggu keajaiban datang dari dewi fortuna, tetapi sudah hampir satu jam aku menunggu, belum ada tanda-tanda angkutan umum akan lewat. Tiba-tiba ponselku berdering kembali, aku berharap Mas Aksa berubah pikiran dan akan menjemputku kemari. Tetapi kali ini panggilan dari seorang wanita yang telah meninggalkan keluarganya demi duda brengsek itu.

"Ada apa Bu? Ngga dimarahin sama suami baru mu kalau nelpon ke sini? Atau Ibu mau minta maaf dan berharap bisa balik lagi sama Bapak? tanyaku bertubi-tubi, belum ada jawaban dari telepon seberang sana, sesenggukan tangis mulai terdengar. Kenapa lagi sih? Mau buat drama baru apalagi wanita ini, ucap batinku. 

Aku sudah terlalu muak dengan ribuan drama yang telah ibuku buat. Namun, bapak selalu mengajarkan kepadaku untuk tidak sedikitpun membenci ibu, karena dia makhluk yang mulia. 

Suara tangis makin terdengar jelas, bahkan kali ini suara tangis seorang laki-laki, dan aku mengetahui betul siapa pemilik suara itu. 

Bapakku, iya betul itu suara laki-laki yang telah mengorbankan segalanya demi mempertahankan rumah tangganya, namun hasilnya nihil, ibuku lebih memilih memulai hidup barunya bersama lelaki pilihannya itu.

"Bapak? Kenapa menangis, apa Ibu menyakiti mu lagi?" Aku memberanikan diri menanyakan hal itu.

"Ke rumah sakit sekarang Nak, nanti Bapak kirim lokasinya." jawabnya singkat, jawaban itu berhasil membuat detak jantungku berdetak kencang, kaki ku gemetar, banyak pertanyaan-pertanyaan yang menghantui pikiranku. Aku segera mematikan ponsel lalu membuka pesan Whatsapp yang berisi lokasi rumah sakit, ternyata tidak begitu jauh dari tempatku menunggu angkutan umum. Aku segera berlari, tanpa memedulikan rintikan air hujan yang masih mengguyur kota Yogyakarta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline