Lihat ke Halaman Asli

yolaagne

Mahasiswa Jurnalistik

Amsterdam, Saksi Bisu 508 Tahun Keserakahan, Pengabdian, dan Kehancuran

Diperbarui: 6 Juni 2020   19:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto benteng tampak dari luar | Foto: Yola

Jejak bangsa Asing

Semilir angin terasa menyentuh kulit, ketika saya berdiri di antara bangunan berumur 508 tahun ini. Suasana sepi menyelimuti benteng dari pagi hingga sore hari. Di samping pesisir laut, benteng Amsterdam setia berdiri dengan kisah kelamnya. Benteng amsterdam menjadi saksi bisu, mencatat banyak sejarah tentang tsunami dan si tuna netra dari Portugis yang mengabdikan hidupnya untuk mempelajari flora dan fauna.

Pada awalnya bangunan yang berdiri pada Juli 1512 diberi nama Castel Vanveree oleh bangsa Portugis. Bangunan ini digunakan untuk menyimpan hasil pala dan cengkih yang banyak dihasilkan oleh tanah Maluku. Lambat laun, masyarakat Maluku merasa dirugikan dan membuat perlawanan terhadap keberadaan Portugis.

Hal ini dimanfaatkan bangsa Belanda untuk mengambil alih benteng. Ketika perdagangan rempah-rempah menyadi komuditas utama di nusantara, Belanda mengubah fungsi benteng menjadi bangunan pertahanan dari serangan kapal-kapal asing.

salah satu bagian selekoh dari benteng | Foto: Yola

Saya berdiri di salah satu selekohnya sambil memandang benteng secara keseluruhan, membawa nuansa samar-samar tentang keserakahan bangsa asing terhadap tanah Maluku. Secara bergantian bangsa asing datang untuk memanfaatkan kekayaan Maluku dan merugikan masyarakat asli.

Jejak Rumphius tergambar samar

Setelah lelah menjelajah luar benteng, saya dan seorang teman memasuki bangunan. Setelah beberapa langkah masuk, saya merinding. Ternyata suasana di dalam lebih senyap. Hawanya tidak seperti saat pertama kali menginjakan kaki, meskipun pertama kali datang memang hanya ada saya dan teman saya yang berkunjung. Saya sendiri sebenarnya ragu untuk naik ke lantai dua, namun sudah terlanjur jauh-jauh ke sini setidaknya saya harus melihat keseluruhan bangunan.

Tangga menuju lantai 2 | Foto: Yola

Saya pun menaiki anak tangga kokoh yang terbuat dari kayu. Mengamati tiap sudut bangunan dan langit-langitnya. Usia bangunan yang tua sangat tercermin hanya dengan melihatnya. Dari lantai dua kami disajikan pemandangan yang indah. Letak benteng yang berhadapan langsung membuat angin leluasa berlari kesana-kemari.

Saya berdiri di balkon dan melihat ke dalam bangunan. Ternyata di sini lah seorang Georg Everhard Rumphius, seorang naturalis asal Jerman pernah tinggal. Awalnya ia seorang pegawai di East Indies Company (EIC) milik Inggris. Di benteng ini dia meneliti flora dan fauna yang ada di Maluku, sebelum ia menikahi gadis Ambon dan pindah di Hitu, daerah pesisir utara Jazirah Lehitu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline