"Tidak ada tulisan apa-apa dalam artikel ini. Karena jika saya tulis pendapat dan impresi saya tentang Korupsi di negara ini, limit huruf kata yang disediakan oleh Administrator Kompasiana ini tidak akan cukup. Meskipun Tim Pengembang Kompasiana melakukan update dan memperpanjang kapasitas font artikel di sini untuk bisa menampung kata, meskipun panjangnya ditarik sampai mengelilingi Bumi berkali-kali. Lagipula, seandainya-pun cukup, saya tetap tidak akan menulis opini saya tentang perilaku anak-anak TK yang bernama Korupsi. Sebab itu tidak akan berpengaruh apa-apa bagi Persatuan Asosiasi Per-Koruptor-an di negara ini, meskipun sumpah serapah saya lewat tulisan ini sudah berbusa-busa sampai ke langit ke tujuh. Itu hanya akan membuat jari saya capek dan asam lambung saya kumat.
Memang apa pentingnya melakukan analisis terhadap tindakan Korupsi dengan bahasa-bahasa yang akademis? Sedangkan meskipun saya kumpulkan semua jenis kata-kata brengsek dan kurang ajar yang pernah ada di Bumi ini, juga tidak cukup untuk menggambarkannya. Apalagi cuma bahasa Akademis! Bahasa Korup sudah dikenal seluruh golongan. Dari atas sampai bawah, kiri sampai kanan. Bujur Barat Sampai Bujur Timur. Sampai sosok misterius yang ada di balik isi celana dalam saya juga sudah tidak asing lagi dengan istilah Korupsi. Apanya lagi yang mau dikupas?
Kecuali jika saya menulis tentang Korupsi, dan ketika saya selesai menerbitkannya di halaman Kompasiana ini, 5 menit kemudian mereka semua mati. Jika bisa seperti itu, saya mau. Bisa?". Sudah dulu ya? Saya mau bakar anti nyamuk. (*)
.
Penulis Huru-hara Satu-satunya di Kompasiana.
Bung Plontos.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H