Lihat ke Halaman Asli

Yoka Pramadi

Peneliti di Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya - LIPI

Hikmah Puasa di Tengah Korona: Olahraga, Olahrasa, dan Olahjiwa

Diperbarui: 11 Mei 2020   15:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Ramadhan (pixabay)

Jutaan umat Islam di Indonesia sudah mulai menunaikan ibadah puasa. Namun berbeda dengan bulan Ramadhan di tahun-tahun sebelumnya, kita memasuki bulan Ramadhan di tengah pandemi Korona.

Ketika saya bertanya kepada istri pada saat berbuka puasa di hari pertama Ramadhan, apa yang terlupakan di saat wabah ini tak kunjung usai? Istri menjawab, “bersyukur”. Saya kemudian mengkonfirmasi, apakah yang dimaksud adalah rasa syukur kita terhadap nikmat yang kita miliki saat ini? “Iya, betul sekali”, lanjutnya. Walaupun menu berbuka kami saat itu hanyalah hidangan biasa, tanpa ada kurma ataupun kolak yang biasa kita santap ketika berbuka di Ramadhan sebelumnya, kemudian saya mengamini apa yang dikatakan istri.

Terkadang kita tidak menyadari bahwa yang kita miliki dan bisa dinikmati saat ini merupakan rezeki yang tak terkira harganya. Sebut saja dengan bisa makan ketika sahur dan  berbuka itu merupakan nikmat yang perlu kita syukuri. Beberapa hari yang lalu tersebar berita di media sosial ataupun media daring bahwa seorang warga Kota Serang, Banten bernama Yuli berusia 43 tahun meninggal dunia (20/4/2020) setelah dikabarkan kelaparan dan tak makan selama dua hari. 

Yuli adalah seorang ibu rumah tangga dengan empat orang anak dengan suami bernama Kholik. Kejadian ini kemudian geger dan tak lama Kholik membuat surat tertulis menyatakan bahwa istrinya meninggal bukan karena kelaparan. Camat setempat pun mengatakan bahwa kematiannya bukan karena kelaparan, karena bantuan sempat datang menyambangi keluarga Yuli. Dari pemeriksaan sementara dokter diketahui bahwa Yuli meninggal karena serangan jantung dan diduga adanya tekanan psikologis.

Terlepas dari penyebab kematian Yuli, perlu kita sadari bahwa ini adalah salah satu efek dari pandemi. Faktor ekonomi keluarga Yuli menjadi benang merah yang paling kentara. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, Kholik dan Yuli bekerja serabutan mengangkut sampah dan dibayar harian. 

Dua hari sebelum meninggal (19/4/20), Yuli sempat mengeluhkan kesulitan ekonomi keluarganya akibat pandemi ini. Yuli mengaku bahwa mereka tak mampu lagi membeli beras. Dia dan suami serta empat orang anaknya, selama dua hari hanya meminum air, untuk menghilangkan rasa lapar.

Almarhumah Yuli (Kompas.com)

Bertahan Hidup di Tengah Wabah

Bukan hanya Yuli dan keluarganya, ketika peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan oleh Pemerintah Pusat untuk beberapa daerah, banyak masyarakat yang hidup semakin tersiksa. Banyak dari mereka yang masih melanggar aturan demi bertahan hidup. Kasus Yuli yang tidak bisa bertahan hidup memang harus disikapi dengan sebuah tindakan nyata baik dari Pemerintah maupun masyarakat secara langsung. Imbas dari pandemi Korona ini banyak pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). 

Banyak para pedagang yang dilarang berjualan tetapi tetap berjualan. Para pengemudi daring (ojol) dibatasi dalam beroperasi tetapi masih berkeliaran demi mencari penumpang atau pesanan makanan.

Melihat fakta tersebut di atas, Presiden memang kemudian memutuskan untuk memberikan program bantuan dari Pemerintah Pusat seperti Program Keluarga Harapan, Kartu Sembako, kartu Prakerja, pembebasan tarif listrik dan diskon pembayaran listrik. Selain itu beberapa kebijakan tambahan lainnya yaitu bantuan sosial khusus Bahan pokok (Sembako) untuk daerah Jabodetabek, serta Bantuan Sosial Tunai untuk masyarakat di luar Jabodetabek.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline