Lihat ke Halaman Asli

Beratnya Industri Animasi dalam Negeri; Alasan Harus Mendukung Animator Lokal

Diperbarui: 24 Desember 2015   17:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya suka diberi segala sesuatu yang bagus bin gratis. Alasan utamanya jelas adalah perihal, ekonomi, biasanya seputar modal. Keluarga saya selalu mengajarkan kalau membeli barang, belilah yang membuat badan bergerak. Jangan beli barang yang membuat tertawa. Maksudnya adalah nasihat agar menghindari membelanjakan uang untuk terlalu banyak senang-senang.

Siang tadi sempat berkunjung dan membaca sebuah artikel di dreamteknopedia. Artikel ini berbicara tentang berapa banyak sih biaya yang dibutuhkan untuk produksi satu episode anime. Anime adalah film animasi yang telah menjadi industri besar di Jepang. Proses pembuatannya panjang, mulai dari tahap perencanaan, skenario tokoh, pembuatan jalan cerita, menggambar, mewarnai, sampai filmnisasi. Anda pasti tahu, perlu ratusan gambar yang diperlukan untuk membuat gerakan sederhana tampak halus dan tidak patah-patah.

Beberapa contoh anime populer yang diketahui oleh generasi 80-an hingga kini adalah Dragon Ball, Doraemon, Gundam, dan banyak lagi lainnya. Rata-rata untuk memproduksi anime satu episode (durasi sekitar 25 menit) perlu modal sebanyak 1,32 milyar rupiah. Sama seperti harga rumah mewah kelas bawah di Jawa Tengah.

Angka tersebut belumlah apa-apa dibandingkan animasi barat. Coba lihat animasi seperti Spongebob Squarepants saja, satu episode ditaksir hingga 6,7 milyar. Jumlah fantastis untuk hiburan sesaat. Tapi bisa dimaklumi, mengingat untuk menghasilkan satu karya anime, diperlukan banyak perlengkapan. Semisal sewa ruangan, gaji artis (penulis cerita & pelukis), persiapan komputer (yang tentu bukan sekedar komputer murah), listrik, dana operasional, dan lain-lain.

Produktivitas animator Jepang begitu luar biasa. Bisa dikatakan tiap bulan atau bahkan minggu, selalu keluar judul baru. Mereka juga memiliki kanal televisi kabel khusus anime; Aniplus, Animax, Anitele, dan lain-lain. Melihat itu, kita bisa mengerti bahwa dunia animasi adalah lahan baru untuk pengembangan lahan kreatif.

Meski begitu, Indonesia tidak serta merta sanggup untuk menggiatkan lahan potensial ini. Industri animasi di Jepang telah menancap kuat dengan berbagai medium pesan lain; komik, film bioskop, dan sebagainya. Maka mengudarakan sebuah stasiun televisi khusus animasi bukanlah tindakan lempar dadu, karena sudah ada audiens yang jelas. Kondisinya masyarakat penontonnya jelas berbeda kalau dibandingkan di Indonesia.

Televisi Indonesia lebih memilih memutar animasi dari luar negeri. Alasannya mesti sama; rating yang tinggi. Ketika rating tinggi, maka ada pemasukan dari iklan. Sementara itu animasi buatan industri dalam negeri, haruslah memutar otak agar dapat dipertontonkan. Seringkali kanal video populer YouTube yang akhirnya dipilih.

Resiko mendistribusikan karya animasi lewat YouTube adalah sulit mendapatkan pemasukan iklan. Meski kita bisa membuat perjanjian dengan YouTube untuk monetisasi lewat Google Adsense. Kamu tahu berapa uang yang dihasilkan dari situ? Tiap 1000 penonton kamu mendapatkan satu dolar (sekitar 13.000 rupiah).  Itupun semisal iklan yang tampil tidak di-skip oleh penonton. Jadi kalian bisa bayangkan antara pemasukan dan pengeluaran dari studio animasi lokal.

Let’s Support Local Animators! (Red)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline