Lihat ke Halaman Asli

Hak Asasi Manusia; Sensitivitas Publik

Diperbarui: 3 September 2016   18:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto by PMKRI Denpasar

(Opini: Yoh. Sandriano N. Hitang)

“Kebenaran ini akan kami genggam, bahwa setiap manusia diciptakan sama, bahwa hak-hak asasi (hidup, kebebasan berbicara-berpendapat, beragama, kebutuhan hidup aman, tentram, dan sejahtera) melekat dalam dirinya,dalam darahnya, dalam martabat dirinya…..”

Hak asasi manusia dalam beberapa dekade terakhir menjadi pilihan topik yang sering diperbincangkan. Adanya kesadaran akan hak-hak dasar yang dimiliki manusia menjadi langkah awal dalam perjuangan menggapai kemerdekaan hak sebagaimana yang disebutkan. Spirit ini kemudian melahirkan tekad juang untuk menjunjung tinggi hak-hak manusia sebagai subyek yang tak terpisahkan dalam realitas hidup. Semangat ini semestinya menjadi komitmen penuh bangsa ini terhadap segala pelanggaran dan penindasan terhadap hak-hak dasar manusia.

Tinjauan Filosofis

Ditinjau dari sisi filosofisnya hak asasi manusia merujuk pada sebuah pandangan bahwa sesungguhnya setiap manusia memiliki martabat yang sama di dalam dirinya. Di sisi ini, asasi berarti hak-hak tersebut tertanam dan melekat erat dalam jati diri kita sebagai manusia. Tak peduli apapun suku, agama, ras, jenis kelamin yang dimiliki, setiap manusia dipandang sejajar oleh karena martabat yang sama dan akan terus ada dalam dirinya. Hak asasi manusia ada bukan karena regulasi yang diciptakan manusia. Hak asasi manusia ada karena kita adalah manusia. Hak asasi ada justru karena ke-manusia-an kita.

Zeno, salah satu filsuf Yunani Kuno (300 SM) menegaskan bahwa secara kodrati, hak-hak asasi berasal dari manusia dan bukan pemberian pemerintah. Lebih lanjut, Peter Leuprecht dalam uberlegungen zum internationalen schutz der menschenrechtemenegaskan bahwa hak asasi manusia terdiri dari 3 hal yang saling kait-mengait. Pertama, hak asasi manusia bersifat universal (universalitat). Dalam ciri ini, hak asasi manusia berlaku untuk semua manusia tanpa terkecuali. Kedua, hak asasi manusia tidak dapat dibelah-belah (unteilbarkeit).Dalam hal ini, hak politik tak dapat dipisahkan dari hak ekonomi demikian halnya hak budaya. Semuanya menjadi satu kesatuan yang melindungi manusia dari segala bentuk ketertindasan. Ketiga, hak asasi manusia selalu bersifat sosial yang melintasi batas-batas budaya, agama, ras, dan lain sebagainya. Rasa solidaritas muncul dengan sebuah pemahaman bahwa kita adalah mahluk yang senantiasa saling melindungi satu sama lain seraya mencegah peradaban jatuh ke dalam hukum yang sering disebut-sebut sebagai “hukum rimba.”

Kesadaran Hak Asasi Manusia

Seiring perkembangan dialektika peradaban, perjuangan untuk memerdekakan hak-hak dasar manusia dari segala ketertindasan mulai nampak saat berbenturan dengan pengalaman dan krisis sosial kemasyarakatan.

Di Inggris misalnya, pada abad ke-17 tokoh-tokoh gerakan menegaskan hak-hak asasi warga negaranya untuk hidup dan bertindak bebas. Revolusi Perancis di tahun 1789 sedikit banyak mengisyaratkan pentingnya perjuangan terhadap hak-hak dasar manusia. Belum lagi gerakan-gerakan sosial politik di Amerika Utara dalam memperjuangkan kemerdekaannya dari kolonialis Eropa Barat. Puncak pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia mulai nampak pada abad ke-20 saat kekejian, kekerasan dalam perang dunia seolah menjadi tontonan menarik. PBB, melalui Declaration of Human Rights membuka mata dunia untuk bangkit, memperjuangkan hak-hak asasi manusia. Di titik ini, dunia sadar ada sesuatu yang lebih berharga daripada “kekuasaan”, ada sesuatu yang lebih bernilai dan itu tak lain ialah penghargaan sedalam-dalamnya akan hakikat manusia.

Potret Indonesia; Sensitivitas Publik

Dalam konteks ke-Indonesia-an, semenjak reformasi 1998, hak asasi manusia tak lagi sekedar himbauan etis. Hak asasi manusia tak lagi sekedar seruan-seruan profetis. Komitmen bangsa ini pada hak asasi manusia dikukuhkan sebagaimana termaktub di dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998. Komitmen ini mendapatkan basis legal konstitusional setelah amandemen kedua UUD 1945. Keberadaan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menjadikan hak asasi manusia sebagai hak konstitusional bagi setiap warga negara. Kondisi ini mengarahkan bangsa Indonesia untuk menempatkan hak asasi manusia sebagai fondasi, sekaligus prinsip dan nilai, yang tak-boleh dikesampingkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline