Lihat ke Halaman Asli

Bagai Pemilik Lahan dan Petani Penggarap

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

142777245093871483

[caption id="attachment_375842" align="aligncenter" width="780" caption="foto: skk migas"][/caption]

INDUSTRI hulu minyak dan gas bumi (migas) sejak akhir abad 18 telah ada di tanah air. Berbagai pengaturan fiskal untuk mengatur kontrak hulu migas telah digunakan. Mulai rezim konsesi yang dianut pada era kolonial belanda sampai awal kemerdekaan. Kemudian, rezim kontrak karya yang berlaku Indonesia menerapkan Undang-Undang No. 40 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Hingga production sharing contract (PSC) atau kontrak bagi hasil yang diterapkan mulai 1965 sampai saat ini.

Lalu, seperti apa kontrak hulu migas yang lazim berlaku di negara-negara lain? Secara umum, pengaturan fiskal untuk sumber daya alam migas, terutama sektor hulu migas dibagi menjadi dua, yaitu konsesi dan kontrak kerja sama.

Sistem konsesi adalah sistem pemberian izin pertambangan yang berpangkal kepada paham pengelolaan sumber daya dengan rezim private property. Rezim ini bersandar kepada pemahaman bahwa sumber daya laman dikuasai secara pribadi.

Sistem konsesi relatif lebih sederhana pengaturannya bagi pemerintah. Pemerintah tidak terlibat dalam operasi perusahaan. Pemerintah tidak berkepentingan terhadap strategi pengelolaan, produksi, serta jumlah yang diproduksi. Pemerintah bahkan, tidak memiliki wewenang untuk mempengaruhi manajemen perusahaan dan meminta kepada perusahaan untuk mengubah pola produksi dan teknik memproduksi.

Berbeda dengan konsesi, dalam sistem kontrak kerja sama, semua hak dan kewajiban masing-masing pihak yang berkontrak dituangkan dalam dokumen perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak. Siapa dapat berapa dan bagaimana masing-masing pihak memperoleh hasil dari investasi yang ditanamkan atau aset yang dipertaruhkan, semua tertuangkan dalam kontrak kerja sama.

[caption id="attachment_375844" align="aligncenter" width="300" caption="foto: skk migas"]

14277725862143060877

[/caption]

Sistem kotrak bagi prosuksi pada intinya merupakan bisnis yang dibangun bersama-sama oleh pihak yang menandatangi kontrak. Hasil dari kerja sama tersebut dibagi ke semua pihak yang bekerja sama. Kontrak kerja sama dibagi menjadi dua; kontrak bagi produksi (production sharing contract/PSC) dan kontrak jasa (service contract). Sementara kontrak jasa juga terdiri dari kontrak jasa murni (pure service contract) dan kontrak jasa berisiko (risk service contract).

Skema PSC pertama kali berlaku pada 1966 saat PERMINA -perusahaan negara yang mengurusi migas sebelum berganti nama menjadi PT Pertamina (Persero)- menandatangani kontrak bagi hasil ddengan Independence Indonesian American Oil Company. Kontrak ini tercatat sebagai PSC pertama dalam sejarah indutri migas di dunia.

PSC dapat diibaratkan model usaha petani penggarap yang banyak dipraktikkan di Nusantara. Pemerintah adalah pemilik “sawah” yang mengamanatkan pengelolaan lahan kepada “petani penggarap”. Dalam bisnis hulu migas, “petani penggarap” ini adalah perusahaan migas, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. penggarap ini menyediakan semua modal dan alat yang dibutuhkan. Semua pengeluaran tentu harus disetujui pemilik sawah, karena modal tersebut akan dikembalikan kelak saat panen. Penggantian ini, yang dalam dunia migas dikenal dengan istilah cost recovery, hanya dilakukan jika “panen” tersebut berhasil atau ada temuan cadangan yang komersial untuk dikembangkan. Jika tidak, semua biaya ditanggung sepenuhnya oleh penggarap (kontraktor migas).




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline