Lihat ke Halaman Asli

Sebuah Pertanyaan Umum Oleh Murid Kelas 3 SMA: Kuliah Bagaimana?

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu berjalan dengan cepat. Tak terasa saya sudah mencapai umur 17 dan duduk di bangku SMA kelas akhir. Mulanya masuk SMA untuk menikmati akhir dari masa remaja menuju transisi kedewasaan. Akhirnya, di sinilah awal kedewasaan saya diuji. Pilihan. Mau masuk universitas mana, jurusan apa, nanti lulus kerja di mana, dsb. Opsi ini harus sudah diterapkan dari awal demi menjaga fokus.

Untuk pemilihan jurusan dsb ini banyak ditemukan masalah. Masih nggak tau cita-cita lah, peluang kerja lah, keinginan ortu lah. Beruntung bagi yang sudah fokus. Saya sendiri bermasalah dengan ortu yang tidak menyetujui pilihan saya. Saya sudah beragumen tetapi tetap tidak disetujui.

Guru saya banyak memberi contoh pengalaman mengenai restu orangtua. Ada kakak kelas saya yang ngebet mau masuk FK. Keluarga besarnya tidak setuju, tapi dia ngotot ingin ikut SNMPTN. Ternyata dia tidak lulus. Padahal saya akui kakak kelas saya itu benar-benar berbakat jadi dokter.

Yang lebih hebat lagi, ada teman guru saya yang dipaksa masuk kedokteran, padahal dia ingin masuk teknik. Kemudian dia ikut SNMPTN dengan setengah hati, asal ngejawab, ternyata dia malah lulus. Wah, begitu besar ternyata pengaruh restu orangtua terhadap anaknya.

Oke, itu baru masalah awal: mengenai pilihan. Masalah selanjutnya adalah masuk universitas itu sendiri. Banyak yang mengincar PTN karena gengsi dan harga. Namun, sudah bukan rahasia lagi kalau dengan memiliki uang di atas 200juta sudah bisa masuk kedokteran. Kursi PTN juga semakin menipis ketika orang yang masuk ke sana pakai "jalur kekeluargaan". Tidak ada relasi, tidak ada tempat. Kemudian orang-orang pun berebut jalur undangan lewat nilai rapor, sebelum akhirnya pasrah mengikuti SNMPTN tertulis.

Nah, saya mendapat cerita lagi dari guru saya. Sewaktu kuliah, dia tinggal di kos yang isinya 8 orang. Tujuh orang temannya anak FK dan mereka dengan bangganya bercerita kalau mereka memanipulasi nilai rapor mereka. Mereka yang anak orang dengan jabatan tinggi, hanya dengan duit maka baguslah nilai mereka. Nyeri hati mendengar kisah seperti itu. Orang-orang yang masuk PTN dengan jalur seperti itu sebenarnya mengambil hak milik orang lain, terutama orang yang pintar tapi tidak mampu. Mereka yang seharusnya bisa masuk, dengan mudah kursinya direbut oleh orang-orang tidak tahu malu itu. Pantas saja korupsi Indonesia tidak pernah selesai. Pendidikan aja mainannya duit!

Masalah lain yang lebih berat akan menanti waktu kuliah nanti. Guru saya sudah mengingatkan bahwa kami akan kesulitan mencari teman sejati di kuliah nanti, tidak seperti SMA. Orang kuliah bersifat individualis. Misalnya saja ada orang yang tiba-tiba datang kepada kita untuk mengerjakan tugas sama-sama padahal tujuannya mau nyontek. Kalau tidak diberi dia akan bilang pelit, kemudian dia memberi tahu banyak orang kalau kita pelit, dan akhirnya kita akan menjadi orang yang paling dibenci. Ada lagi orang yang mendapat kisi-kisi tugas dari dosen tapi tidak mau memberi tahu yang lain. Separah itukah anak kuliahan itu?

Begitulah. Saya harus benar-benar menyiapkan mental saya untuk menghadapi masa depan saya. Kedewasaan saya tengah diuji, terutama dalam masalah masuk universitas. Tulisan ini saya buat tidak hanya untuk curhat, tetapi untuk mengingatkan diri saya sendiri bahwa saya harus bisa menghadapi masa yang akan datang tanpa mengeluarkan uang 200juta lebih untuk memesan kursi universitas =))

Salam Jujur! Maju Terus Bangsa Indonesia!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline