Lihat ke Halaman Asli

yoha risna

pembelajar

Cerpen | Jangan Menangis, Kiyai

Diperbarui: 1 Januari 2020   18:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pun memandangi tanah kelahirannya, Pekon Kenali yang mulai hilang di balik bukit Pesagi. Angin seolah berhenti, tak ada kicau burung dan suara gemerisik dedaunan kopi yang memenuhi udara. Hanya keheningan. Pun mengusap matanya. Tangannya menggenggam foto kedua orang tua kandungnya yang kata orang tinggal di kota Bandarlampung. Pun dan Kiyai akan mencari mereka di kota.

"Kiyai, kapan kita sampai kota?"

"Entahlah, Pun. Mungkin besok siang. Kita akan singgah dulu di rumah Mak Cik di Liwa. Kata Mak Cik ada titipan kopi Corolla buat Penyimbang yang tinggal di Bandarlampung."

Pun mengangguk. Kepalanya mulai terangguk-angguk karena kantuk.

"Tidur saja, Pun. Kiyai akan jaga kamu."

"Ya, Kiyai."

Pun tertidur lelap. dan bermimpi tentang Mak dan Bak yang mereka cari. 

"Mak, Bak, Pun rindu. Kenapa tak pernah menjenguk di kampung?" Pun memeluk tubuh Mak yang tegap. Pun mengusap matanya.

"Mak dan Bak akan pulang kampung. Tunggulah." Mak mencium dahi Pun lembut. Pun tersenyum. 

"Pun, bangun! Kita sudah sampai." Kiyai menepuk pipi Pun. "Ayo, turun." Kiyai mengambil tas besar di bagasi, dan memegang tangan Pun. Perlahan ia memandangi kerumunan orang di  terminal Liwa. Mencari Mak Cik yang menjemput mereka. 

"Itu Mak Cik, Kiyai!" Pun menarik ujung kemeja Kiyai. Pun, lalu berlari ke orang seorang wanita yang melambai ke arah mereka. Kiyai tersenyum sambil terus berjalan ke arah Mak Cik yang langsung memeluk Pun dengan erat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline