Seiring legislasi Omnibus Law Cipta Kerja (OL Ciptaker), kelompok buruh mulai menyuarakan penolakannya. Beberapa pimpinan serikat buruh protes, lantaran merasa tak dilibatkan dalam penyusunan RUU OL Ciptaker.
Mereka juga menilai, RUU yang draftnya disiapkan Kemenko Perekonomian itu tak mencerminkan kepentingan para buruh. Sebaliknya, mereka menuduh RUU ini hanya melayani kepentingan pemerintah dan pengusaha, serta merugikan kelompok buruh. Tulisan ini akan mengulas polemik tersebut
1. Buruh Tak Dilibatkan?
Sejak awal periode kedua pemerintahannya, Jokowi memang mengebut proses Omnibus Law, salah satunya OL CIptaker.
Untuk itu, Kemenko Perkonomian diminta segera mempersiapkan draft RUU untuk dibahas bersama di DPR. Proses inilah yang menuai protes kelompok buruh, yang merasa tak dilibatkan dalam penyusunannya.
Tapi benarkah kelompok buruh tidak dilibatkan? Tentu saja tidak, karena penentuan akhir sebuah Undang-undang berada di meja DPR. Dan saat ini, pihak pemerintah maupun DPR menjamin bahwa kelompok buruh akan dilibatkan dalam pembahasan naskah OL Ciptaker di meja DPR.
Selama proses pembahasan di DPR itu, kelompok buruh akan turut diundang untuk menyimak, mengkritisi, atau mengusulkan perubahan dalam berbagai ketentuan OL Ciptaker. Yang sudah dilakukan Kemenko Perkonomian sebelumnya hanyalah menyusun rancangan naskah, yang tak mungkin melibatkan semua unsur.
Kemenko Perekonomian bersama Satgas Omnibus Law yang menyusun naskah RUU ibaratnya hanyalah panitia yang ditugasi menyiapkan materi. Materi itu lalu dipresentasikan dalam rapat besar untuk dikoreksi atau disepakati bersama di DPR.
2. Tak Ada Perlindungan Sosial untuk Buruh?
Kelompok buruh juga menilai OL Ciptaker merugikan pekerja, salah satunya terkait pesangon. Menurut beberapa serikat buruh, OL Ciptaker berusaha menghilangkan pesangon untuk pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Padahal, Omnibus Law Ciptaker mengatur beberapa ketentuan terkait kompensasi PHK ini, yaitu: Pesangon, Penghargaan Masa Kerja dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan.