Lihat ke Halaman Asli

Yohanes Andrianto Sir

Sebuah Catatan Perjalanan

Pulau Tam, Sentra Gerabah yang Hampir Punah

Diperbarui: 15 September 2021   10:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mama Siti Hajar dengan gerabah Ub karnyanya *dokumentasi pribadi

Pulau Tam? Ya, terdengar asing di telinga bukan. Tidak hanya bagi orang awam, masyarakat Maluku'pun (khususnya di luar Kepulauan Kei dan Tual) juga jarang mendengar daerah ini. Pulau Tam tergabung pada gugusan di Kepulauan Kei, namun secara administratif masuk dalam wilayah Kota Tual.

Sebenarnya tujuan utama saya datang ke Pulau Tam adalah untuk melihat langsung proses pembuatan kerajinan gerabahnya. Salah satu turis berkebangsaan asing pernah menuliskan pengalamannya menjelajah Kepulauan Kei melalui artikel online. Dari situlah saya mendapatkan informasi tentang Pulau Tam.

Selama sehari semalam, perjalanan saya dimulai dari Ambon menuju ke Tual menggunakan Kapal Pelni. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju Pulau Tam  dengan Kapal Fery yang dilayani dua kali seminggu (Kamis dan Sabtu) dari Pelabuhan Tual. Jauh-jauh hari saya sudah menghubungi salah satu kolega untuk memesan beberapa kerajinan tersebut. Memang, membuat Ub (gerabah dalam bahasa setempat) atau dikenal dengan Tampayang / Guci tempat air tersebut membutuhkan proses yang tidak sebentar. Dari proses pengulenan bahan dasar tanah liat (dicampur dengan ayakan pasir pantai halus), pembentukkan, pengeringan dan pewarnaan membutuhkan waktu kurang lebih dua minggu; sebelum berakhir pada proses pembakaran.  

Salah satu pengrajin gerabah yang saya temui adalah Mama Siti Hajar. Walaupun usianya sudah senja dan tidak lancar Berbahasa Indonesia (masih menggunakan bahasa daerah), senyum dan semangatnya sebagai perajin gerabah masih dapat saya rasakan. Selain Siti Hajar, saya juga berkesempatan bertemu dengan Siti Johora, Sarinah, dan Mama Widat. Tentu saja, mereka adalah generasi terakhir pengrajin gerabah di pulau ini, yang kemudian saya lebih senang (dan bangga) menyebut mereka sebagai pelaku budaya.

Gerabah yang mereka buat dahulunya berfungsi sebagai tempat air, tempat memasak obat, dll. Namun, fungsi tersebut kini telah tergantikan dengan perlengkapan yang lebih tahan lama / modern seperti berbahan plastik maupun stenless stell. Beberapa diantaranya mencoba berinovasi dengan membuat vas dan pot bunga sesuai pesanan.

Saat saya bertanya ke salah seorang anak perajin, mereka menjawab tidak bisa / enggan membuat kerajinan ini. Beberapa hal yang membuat kerajinan ini tidak ter-regenerasi adalah kurangnya peminat / pembeli. Karena fungsinya sudah tergantikan dengan perlengkapan yang lebih modern, permintaan sebenarnya ada namun tidak banyak. Rata-rata masih didominasi oleh kolega maupun instansi terkait sebagai barang kenangan, media promosi pariwisata dan pajangan.

Harga satu Ub biasanya dijual mulai dari puluhan ribu ukuran sedang sampai 100ribu'an untuk ukuran besar. Kerajinan ini dilihat sebagai barang yang kurang memiliki nilai ekonomis lagi, rata-rata dikerjakan disela waktu luang. Padahal gerabah ini sebenarnya memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri, khususnya proses pewarnaannya yang menggunakan batuan alam.

Dari obrolan saya dengan masyarakat sekitar, sebenarnya pemerintah setempat juga memberikan perhatian, bahkan sempat mengirimkan perwakilan warga untuk studi banding ke Yogyakarta. Selain kurangnya peminat, kebanyakan generasi muda yang merantau (untuk melanjutkan pendidikan / bekerja) juga menjadi salah satu alasannya. Jika tidak ada regenerasi, sangat dikhawatirkan kerajinan ini akan berakhir menjadi benda pajangan penanda zaman di museum. Sungguh sangat disayangkan memang, problema yang sama pernah saya temui di salah satu desa di Kei Besar. Sebagai apresiasi, sayapun membeli beberapa hasil karya mereka. Senyum simpul'pun merekah; pengrajin senang, semuanya senang. Sungguh kesempatan yang luar biasa bertemu dengan mereka, semoga gerabah ini tetap lestari.  

*Informasi mengenai pengalaman saya & biaya perjalanan ke Pulau Tam, bisa Anda klik di sini

Terimakasih :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline