Lihat ke Halaman Asli

Senja Merah

Diperbarui: 28 Juli 2016   08:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ibu selalu duduk memandangi senja. Menyaksikan atraksi senja yang menyajikan warna dominan merah pada waktunya. Ibu selalu memandangi senja hingga tuntas. Ditemani teh tawar hangat, ibu menikmati senja dengan begitu khidmat. Sedari kecil, ibu memang selalu begitu. Aku lupa kapan ibu memiliki kebiasaan seperti ini. Yang aku ingat adalah ibu selalu menikmati senja di teras dengan menyeruput teh tawar hangat hingga tuntas. Tak pernah ibu melewatkan senja di dalam hari-harinya. Ibu selalu menjadikannya sebagai sebuah ibadat yang harus dilaksanakan dalam satu hari. Hal lain ia boleh lupa, tetapi perkara menikmati senja, ibu selalu tidak akan pernah melewatkan untuk duduk di teras dan menyaksikan senja beratraksi sebelum matahari angslup ke tempat tidurnya. 

Akupun diam-diam mulai menyukai senja. Kebiasaan ibu duduk di saat senja tertular padaku. Ibu tak pernah menjelaskannya sama sekali. Yang aku lihat dan aku tangkap adalah ibu selalu menikmatinya walau ada sedikit tatapan nanar yang tersembunyi di ujung matanya. 

Suatu senja di bulan juni, aku duduk bersama ibu di teras sembari menikmati senja yang merah merona. 

"Le, ini namanya candikala. Senja merah nan mempesona yang kata orang jawa, adalah suatu pertanda akan marabahaya, petaka dan luka."

Aku hanya diam. Aku mafhum benar jika ibuku bercerita tentang jenis-jenis senja. Aku maklum sebab beliaulah pakarnya senja. Jadi aku hanya meresponnya dengan anggukan kepalaku, menandakan bahwa aku paham akan apa yang dikatakan ibuku. 

"Candikala itu merah. Dengan berakhirnya candikala itu pula, orang-orang merah yang pernah berjaya juga berlalu dan mereka tak pernah kembali. Kenangan mereka semerah candikala, semerah darah."

"Orang-orang Merah?"

"Iya. Orang-orang merah yang selalu membawa palu dan arit yang ada di dada mereka. Mereka yakin negeri ini akan menjadi negeri makmur sentosa dengan bekerja keras. Orang-orang merah itu pergi, termasuk bapakmu."

"Bapak?"

"Iya, le. Bapakmu. Orang-orang merah itu lari tunggang langgang karena keyakinan mereka hilang ditelan waktu. Dari awal, ibu selalu bilang pada bapak, jangan pernah ikut-ikutan orang-orang merah itu. Ndak punya agama, le. Orang-orang merah itu kafir. Tapi bapakmu ngeyel. Ia selalu yakin bahwa ini waktunya untuk revolusi. Revolusi apa? makan nasi pun kita ndak bisa, le. Mau revolusi. Ibu ndak paham revolusi itu jajan pasar dari daerah mana sampe-sampe bapakmu ketagihan. Kalo ibu tahu resepnya, ibu akan buatin bapakmu itu revolusi. Biar bapakmu betah di rumah."

"Lalu bapak kemana bu?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline