Lihat ke Halaman Asli

Yohanes Manhitu

Murid abadi: penulis dan penerjemah

Rubrik "Tapaleuk", Sebuah Konsistensi demi Konservasi

Diperbarui: 2 Agustus 2020   13:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: http://kupang.tribunnews.com

Oleh: Yohanes Manhitu*

KONSISTENSI dapat bermakna suatu wujud keseriusan dan bukti tanggung jawab yang tidak setengah hati. Dan ia tak akan pudar dalam perjalanan waktu apabila komitmen awal misi yang dijalankan senantiasa dipelihara dan diperbarui dari masa ke masa. Konsistensi tidak selamanya berhubungan dengan hal-hal yang besar dan "menghebohkan" saja; hal-hal yang mungkin tampak sepele bagi orang tertentu pun membutuhkan konsistensi demi keberlanjutannya. Sebagai contoh yang sederhana saja, akan terasa sangat janggal apabila kita menyebut seseorang itu humoris padahal ia hanya kebetulan berhumor sehari tetapi selanjutnya menjadi cemberut, acuh tak acuh, dan bahkan menjengkelkan.

Dalam kaitannya dengan konsistensi, khususnya demi pelestarian dan kelestarian bahasa Melayu Kupang (selanjutnya disebut bahasa Kupang dalam tulisan ini), saya memandang rubrik "Tapaleuk" (yang walaupun dalam bahasa Kupang berarti berjalan ke sana-kemari tanpa arah dan tujuan yang jelas, tujuan rubrik ini sendiri jelas) sebagai salah satu bukti nyata.

Mengapa? Karena sejak beberapa tahun silam, tatkala saya pertama kali menginjakkan kaki di Kota Kupang untuk menuntut ilmu di bangku kuliah, hingga saat ini, ketika saya tinggal di pulau lain karena suratan takdir, rublik "Tapaleuk" sudah ada dan tetap menjadi bagian integral dari Harian Pos Kupang.

Siapa pun yang telah menggagas keberadaannya, patut diberi acungan dua jempol sekaligus. Yang menarik bagi saya dari rubrik ini adalah kemampuan para penulisnya untuk meramu berita aktual dalam nuansa lokal dengan humor yang bisa membuat pembaca tertawa terkekeh-kekeh.

Sayangnya, humor segar itu hanya akan dapat dinikmati dengan sempurna jika pembaca sungguh-sungguh merasakannya dalam bahasa Kupang. Jika tidak, ia terpaksa harus menunda tawanya hingga ia betul-betul mengerti maksud tulisan tersebut.

Salah satu cara yang baik untuk menimbulkan efek tawa adalah membaca setiap kata dengan intonasi yang tepat dan penuh penghayatan.

Keterlambatan untuk memahami seperti ini wajar sifatnya, karena tak selamanya sesuatu yang lucu dalam suatu budaya (baca: bahasa) dapat secara otomatis dirasakan oleh seseorang yang bukan penutur bahasa itu, termasuk mereka yang sudah belajar dan mampu menggunakan bahasa tersebut, namun belum sungguh-sungguh menangkap jiwanya (belum sungguh-sungguh menyatu). Dalam percakapan sehari-hari keterlambatan untuk mengerti suatu lelucon (juga hal lain) biasanya disebut "telmi" (singkatan dari "telat mikir", terlambat berpikir).

Setelah menilik sepintas rubrik "Tapaleuk" di harian Pos Kupang, orang mungkin akan tergelitik untuk bertanya, "Mengapa rublik dalam bahasa lokal kok digabungkan dengan tulisan-tulisan lain dalam bahasa Indonesia, yang bersifat resmi dan standar? Apakah tidak akan lebih baik membuat media berbahasa lokal yahang memuat rubrik seperti ini?"

Tentu ini pertanyaan yang mengandung gagasan bagus sekaligus menantang dan layak dihargai. Tetapi jika sejauh ini hubungan rubrik "Tapaleuk" yang berbahasa Kupang dan bagian lain yang berbahasa Indonesia akur-akur saja, tidak ada alasan untuk mempersoalkannya. Boleh saja kita berharap agar suatu hari nanti gagasan di atas bisa terwujud di bumi NTT yang sangat kaya akan bahasa Nusantara (daerah). Wallahualam!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline