Lihat ke Halaman Asli

Mitologi Penciptaan dalam Budaya Batak Toba

Diperbarui: 17 Oktober 2024   10:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Manusia adalah makhluk yang bertanya. Manusia mampu bertanya karena ia mempunyai akal budi. Selain sebagai makhluk bertanya, manusia disebut juga sebagai makhluk eksentris yang membuka diri pada seluruh realitas. Keterarahan budi manusia pada seluruh realitas memampukannya untuk bertanya dan menemukan jawaban tentang apa yang mendasari adanya di dunia ini. Ia sampai pada 'ada' absolut yang disebut sebagai dewa-dewa dan makhluk-makhluk ajaib. Hakekat dewa-dewi dan makhluk-makhluk ajaib itu dilukiskan dalam mitos. Mitos merupakan cerita atau kisah dari zaman arkais tentang pahlawan dan para dewa, tentang asal-usul manusia dan bangsanya serta asal-usul semesta alam. Mitos tentang keberadaan manusia tersebar luas di setiap kebudayaan. 

Mitos dilukiskan oleh setiap kultur secara berbeda menurut kekhasan budayanya sendiri. Salah satu kebudayaan yang melukiskan tentang asal-usul manusia adalah budaya Batak Toba. Mitos eksistensi manusia dalam budaya Batak Toba diwariskan secara turun-temurun secara lisan dalam sebuah turi-turian (cerita dongeng) oleh orang tua yang paham akan hal itu kepada orang yang lebih muda atau anak-anak. Pada saat ini, ada berbagai versi mitos yang dimiliki oleh budaya Batak Toba meskipun memiliki pola yang sama. Hal ini disebabkan oleh penyampaian cerita itu menggunakan komunikasi lisan secara turun-temurun dan tidak pernah didokumentasikan dalam sebuah buku. Hingga pada tahun 1851, seorang bangsa Belanda yang bernama Van Der Tuuk mengumpulkan semua mitos asal-usul manusia dalam budaya Batak Toba dalam bentuk yang lebih sempurna. 

Teori Asal-Usul Manusia dalam Budaya Batak Toba 

Mitos penciptaan mula-mula dilakukan di banua ginjang oleh Mulajadi Nabolon. Ia menciptakan sebuah pohon mitis (Tumburjati) sebagai pohon kehidupan dan menempatkannya di banua ginjang pada tingkat kedua. Kemudian Mulajadi Nabolon menciptakan burung mitis bernama Manuk-manuk Hulambujati. Badannya sebesar kupu-kupu raksasa mempunyai moncong dan kuku yang terbuat dari besi dan tembaga. Bulunya mengkilat dan wajahnya bagaikan bintang kejora. Mulajadi Nabolon menempatkan burung mitis ke salah satu cabang pohon kehidupan. Tiba waktunya, burung mitis bertelur sebanyak tiga butir dan menetaskan tiga orang manusia yang disebut Debata na Tolu yakni Debata Bataraguru, Debata Soripada dan Debata Mangalabulan. Setelah mereka dewasa, burung mitis berseru kepada Mulajadi Nabolon untuk meminta perempuan sebagai isteri Debata na Tolu. Mulajadi Nabolon memberi perempuan bagi mereka agar berpasang-pasangan. Siboru Pareme sebagai pasangan Debata Bataraguru, Siboru Parorot sebagai pasangan Debata Soripada dan Siboru Panuturi sebagai pasangan Debata Mengalabulan. Perkawinan mereka menghasilkan keturunan sebagai penerusnya. 

Dari perkawinan Debata Bataraguru dengan Siboru Pareme, lahirlah dua orang anak laki-laki yang diberi nama Tuan Sori Muhammad dan Tantan Debata Guru Mulia. Kemudian dua orang puteri kembar yang diberi nama Siboru Sorbajati dan Sibori Deakparujar. Hasil perkawinan Debata Soripada dengan Siboru Parorot, lahirlah Tuan Sorimangaraja dan Siraja Enda-enda . Hasil perkawinan Debata Mangalabulan dengan Siboru Panuturi, lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Dipampat Tinggi Sambulan. Setelah dewasa, Siraja Enda-Enda hendak dikawinkan dengan diboru sobarjati sebagai kerabat dekat dalam kerangka adat, namun Siboru Sobarjati menolak tawaran itu karena Siraja Enda-Enda tidak memiliki rupa yang elok. Saudaranya Tantan Debata Guru Mulia membujuk bahkan memaksa Siboru Sobarjati agar mau dikawinkan dengan Siraja Enda-Enda. Akhirnya, Siboru Sobarjati meminta agar digondangi dan tarian agar ia bersedia. Siboru Sobarjati pun menari ke atas para-para dihadapan orang tua dan sanak saudaranya. Ia pun beranjak ke pinggir anjungan lalu mencemplungkan diri ke tengah halaman. Maka dia tenggelam dan tidak nampak lagi. 

Kemudian Debata Bataraguru membujuk Siboru Deakparujar dengan bahasa isyarat yakni dengan gondang dan tarian agar ia mau dikawinkan dengan Siraja Enda-Enda. Hal ini dilakukan agar tidak memalukan keluarga dari Debata Bataraguru. Siboru Deakparujar pun ikut menari dalam rangkaian gerak tor-tor membentuk suatu keterpaduan sebagai ungkapan bahwa ia bersedia terhadap permintaan orang tuanya. Rupanya, gerakan yang ditampilkan olehnya bukan sebagai ekspresi kegembiraan melainkan hanyalah pura-pura. Buktinya, menjelang pagi hari ia pun melompat ke halaman sebagai tanda penolakan terhadap permintaan orang tuanya. Ia jatuh dalam 'paradis bahari' yang kemudian dinamakan banua tonga. Siboru Deakparujar telah berada dalam banua tonga di tengah lautan, hanya onggokan batu sebagai tempat berpijak. Ketika Leang-Leang Mandi lewat, Siboru Deakparujar menyuruhnya meminta segenggam tanah kepada Mulajadi Nabolon untuk tempat berpijak. Setelah Leang-Leang Mandi membawa tanah itu kepadanya, yang diberikan oleh Mulajadi Nabolon, Siboru Deakparujar mulai menempah segenggam tanah itu untuk dijadikan sebagai daratan. Namun, tanah yang dibawa oleh Leang-Laeang Mandi itu dihancurkan oleh Naga Padoha. Akhirnya, Siboru Deakparujar melemahkan Naga Padoha dengan pedang ajaib yang diberikan oleh leluhurnya (Mulajadi Nabolon dan Dewa Trimurti). Siboru Deak Parujar menempah kembali tanah yang diberikan Mulajadi Nabolon, lalu menimbuninya dengan tanah. Dari situ, terciptalah banua tonga yang menjadi tempat manusia berada. Mulajadi Nabolon melihat begitu tertata indah dan apik banua tonga yang diciptakan Siboru Deakparujar. Namun, Mulajadi Nabolon mengetahui bahwa Siboru Deakparujar tentunya mengalami kesepian di banua tonga, maka ia menyuruh Siraja Enda-Enda untuk menemui dan menemani Siboru Deakparujar. 

Perjumpaan mereka berdua serta bujukan dari Siraja Enda-Enda akhirnya meluluhkan hati Siboru Deakparujar. Mereka membentuk ikatan suami isteri sebagaimana layaknya perkawinan insani. Mereka memilih tempat di kaki gunung Pusuk Buhit yang disebut Sianjur Mula-mula. Beberapa bulan setelah mereka kawin, Siboru Deakparujar pun mengandung. Setelah tiba waktunya, ia melahirkan sesuatu yang aneh dan berbentuk benda "gumul" yaitu semacam tembuni yang masih terbungkus dalam selaput dan belum menjadi bayi. Bentuknya bulat serta tidak mempunyai kaki, tangan dan kepala. Kekhawatiran Siboru Deakparujar timbul melihat bayi itu. Kemudian ia ingin menyerahkan bayi itu kepada Mulajadi Nabolon untuk diasuh-Nya. Tetapi datanglah suara menggema dan berkata kepadanya, " Hai... Deakparujar! Jangan engkau cemas dan takut melihat keadaan bayimu itu. Saran-Ku kepadamu, tanamkanlah bayi itu ke tanah yang engkau ciptakan." Dengan segera Siboru Deakparujar menuruti perintah-Nya, karena takut tentang hal yang buruk terjadi terhadap bayi itu. Setelah tujuh hari tujuh malam ditanam, maka pecahlah bayi yang tidak sempurna itu. Bersamaan dengan itu tumbuhlah segala macam bentuk tanam-tanaman dan rumput-rumputan di tanah yang diciptakan Siboru Deakparujar. Setelah itu, Siboru Deakparujar mengandung lagi. 

Ia pun melahirkan bayi kembar yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan. Laki-laki diberi nama Raja Ihat Manisia dan perempuan diberi nama Boru Ihat Manisia. Insan perdana ini mendapat privelese Ilahi. Mereka bebas bergaul dengan penghuni banua ginjang termasuk Debata na Tolu dan para hamba Mulajadi Nabolon. Ketika Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia sudah mulai beranjak dewasa, tergeraklah hati Siboru Deakparujar memanjatkan doa restu kepada Mulajadi Nabolon agar turun ke banua tonga memberkati kedua anak itu. Maka turunlah Mulajadi Nabolon bersama Debata Bataraguru, Debata Soripada dan Debata Mangalabulan untuk mengunjungi mereka bereempat di banua tonga. Mulajadi Nabolon memberkati Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia menjadi suami-istri. Dalam pemberkatan perkawinan itu, Mulajadi Nabolon menyampaikan dua ayat berupa pesan (tona) kepada mereka untuk diamalkan dan menyampaikannya kepada keturunannya sampai akhir jaman. Dua ayat itu adalah, "Na jadi dohot naso jadi" (yang boleh dan tidak boleh dikerjakan). 

Bersamaan dengan itu pula, Mulajadi Nabolon berpesan kepada mereka berdua tentang jalan yang harus dilalui dalam mengarungi bahtera kehidupan yakni, Asa saor hamuna parbanua tonga tu hami parbanua ginjamg, ingkon marisi pelean tanganmu. Ingkon ias do pelean i bahenon mu. Na ma melehon i pe ingkon ias jala malim. (Agar terjadi hubungan yang akrab antara kalian yang berada di bumi dengan kami yang berada di Banua Ginjang, hendaklah dilakukan pemberian sesaji dalam setiap upacara ritual, dan yang mempersembahkan persembahan sesaji itu harus bersih dan suci). Setelah Mulajadi Nabolon menyampaikan pesannya yang harus diamalkan oleh Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia serta seluruh keturunannya kelak, Mulajadi Nabolon bersama Debata Na Tolu kembali ke Banua Ginjang. Mereka diantar oleh Siraja Enda-Enda dan Siboru Deakparujar. Setelah mengantar para Debata, Siraja Enda-Enda memilih berdiam di matahari. Sementara itu, Siboru Deakparujar tinggal di bulan. Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia melanjutkan kehidupannya di Sianjur Mula-mula. Demikianlah kisah penciptaan manusia dalam mitologi budaya Batak Toba. 

Kritik Teks: Konsep Allah Dalam budaya Batak Toba

Konsep Allah disebutkan dengan nama Mulajadi Nabolon. Secara etomologis, nama Mulajadi Nabolon terdiri dari tiga suku kata, yakni Mula artinya awal, Jadi artinya pencipta, Nabolon artinya sang agung. Mulajadi Nabolon berarti awal penciptaan yang agung atau dewa tertinggi yang menjadikan segala yang ada baik manusia maupun dunia. Pengertian kata "menjadikan" dapat dipahami secara rinci dalam empat kata yakni manjadihon (menjadikan), manompa (menciptakan), manopa (menempa) dan mambahen (membuat). Ditegaskan bahwa manopa dan mambahen dapat dikenakan kepada tindakan Allah dan manusia. Sementara manjadihon dan manompa hanya dapat dikenakan kepada tindakan Mulajadi Nabolon yang disebut dengan creatio. Daya mencipta Mulajadi Nabolon ini boleh mengandaikan penciptaan dari ketiadaan (creatio ex nihilo), namun tidak secara eksplisit melainkan secara implisit. Hal ini tampak dalam ungkapan, "Boi do bahenonna adong na so adong hian, holan marhite sian hatana." (Ia dapat mengadakan yang tidak ada sebelumnya, hanya mengandalkan kata). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline