Lihat ke Halaman Asli

Alternatif Atasi Kemacetan di Jakarta

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Rumah Susun Sebagai Alternatif Atasi Kemacetan di Jakarta


Kalau anda tinggal di Jakarta, kemacetan adalah hal biasa dan akan anda alami setiap hari.  Bahkan dari hari ke hari kemacetan semakin menjadi-jadi dan tidak mungkin dihindari.  Sebenarnya apa yang membuat Jakarta macet?  Pertumbuhan jumlah mobil dan motor di Jakarta sangat luar-biasa, ironisnya pengguna angkutan umum semakin merosot tajam, banyak perusahaan bis umum yang gulung tikar, padahal masyarakat Jakarta bertambah-tambah dari 7 juta menjadi mungkin hampir 12 juta jiwa saat ini.

Pemerintah DKI mengantisipasi pertumbuhan kendaraan di Jakarta dengan berbagai macam cara, antara lain; jalan satu arah jam-jam tertentu, melebarkan jalan dengan memotong pohon-pohon dan menutup gorong-gorong,  membangun jalan toll, under pass, fly over dengan dana trilyunan, pajak progresif, tree in one dan lain-lain seperti menaikkan biaya parkir dan car free day.  Ternyata usaha-usaha tersebut di atas tidak memberikan hasil yang memuaskan, penjualan mobil dan motor tetap meningkat.  Sulit melarang orang untuk tidak membeli mobil atau motor, bisa-bisa di demo masyarakat karena dianggap melanggar hak asasi yaitu hak untuk memiliki.

Kembali kepada pertanyaan di atas, sebenarnya apa yang membuat Jakarta macet.  Pengalaman pribadi saya ketika tahun 90-an, saya datang ke Jakarta tahun 93 setelah tamat dari SMAN 2 Magelang.  Pada waktu itu kota-kota satelit Jakarta belum berkembang seperti sekarang.  Ada iklan dari bank BNI yang terkenal dengan slogan "Minto mantahnyo sajo" atau artinya minta uangnya aja, nggak usah kasih barang, dan slogan "Nglaju mas???".  Di iklan tersebut ada seorang ibu yang dapat hadiah mobil mercy padahal rumahnya adalah perumahan tipe 36 dengan car port yang kecil dan berpagar.  Ibu tersebut sangat gemuk sehingga tidak bisa keluar dari rumahnya terhalang mobil mewah tersebut.  Iklan lainnya ada seorang bapak yang mendapat hadiah rumah, tapi rumahnya jauh sekali (di Bekasi atau Bogor sepertinya).  Pada waktu ia akan berangkat kerja pagi-pagi sekali,  kondisi masih gelap di luar rumah sementara ia bergegas mengeluarkan motornya untuk pergi kerja.  Tiba-tiba tetangganya bangun dan menyapa bapak itu dari jendela rumahnya, katanya, "Nglaju mas???", dan dijawab oleh bapak tersebut dengan menganggukkan kepala membenarkan statement yang dikatakan oleh tetangganya.  Iklan tersebut menggambarkan keadaan saat itu, dimana adalah aneh jika punya mobil keren tapi rumahnya kecil atau punya rumah jauh sekali dari tempat kerja.  Saat itu di Jakarta kemacetan sangat kurang dibandingkan sekarang.  Macet hanya terjadi di jam pulang kerja atau week end hari sabtu.  Jam delapan malam kondisi jalan raya lenggang, bermain bolapun  di jalan raya jam-jam itu tidak masalah.  Orang-orang banyak yang menggunakan bis, angkot atau kreta api untuk berpergian, jadi yang menyebabkan macet karena banyak orang berkerumun menunggu angkutan umum.  Angkutan umumnya yang kurang, sehingga bis metro mini saat itu banyak yang miring ke kiri akibat banyak penumpang yang bergantung di pintu (salah satunya saya, 3 tahun naik metro mini hanya 3 kali sempat duduk,  lebih sering bergantung di pintu bis atau berdiri).  Pada saat itu di Jakarta berlaku "Surat domisili", jadi jika ingin bekerja di Jakarta harus tinggal di Jakarta.  Kebanyakan perusahaan-perusahaan atau kantor-kantor di Jakarta lebih memilih orang yang berdomisili di Jakarta sebagai syarat penerimaan pegawai.

Mungkin hal itulah yang membuat jalan-jalan lenggang dan hanya macet kalau malam minggu saja, selain karena waktunya wakuncar (waktu kunjung pacar) atau pulang ke keluarga bagi karyawan yang memiliki keluarga di luar Jakarta.  Salah satu contohnya adalah teman kost saya, mas Tohir.  Mas Tohir ini sebenarnya eksekutif suatu bank di dekat Ratu Plasa.  Uangnya sebenarnya cukup buat beli rumah, mobilnya pun termasuk mewah, tetapi ia tetap ngekost di tempat kos-kosan saya supaya bisa  cukup jalan kaki sampai ke tempat kerjanya dan pastinya karena "surat domisili" itu.  Begitu pula dengan saya,  saya ngekos supaya dekat dengan universitas saya dan baru pulang week end.

Saran saya bagi pemerintah kota Jakarta, jika ingin mengurangi kendaraan di Jakarta mungkin  cara  yang lebih tepat adalah dengan membangun rumah susun atau  flat-flat sewa dan menerapkan kembali "surat domisili", untuk urusan dana pembangunan bisa berkerja- sama dengan swasta.  Dibandingkan dengan membangun sarana seperti jalan-raya dan buat peraturan yang aneh-aneh mungkin cara ini  lebih mumpuni/efektif dan efisien.  Jika dengan cara menambah atau membesarkan jalan-jalan selain butuh dana trilyunan juga bisa menimbulkan ekses sosial, akibat penggusuran.  Jakarta juga bisa meraup dana Pendapatan Asli Daerah (PAD)  dari pajak parkir, pendapatan sewa flat sewa dan pajak-pajak lainnya dari pendapatan rumah susun yang dikelola oleh swasta dan memberdayakan masyarakat Jakarta karena rumah susun akan memicu bisnis-bisnis lainnya yang pada intinya meningkatkan pendapatan masyarakat Jakarta( yang pada akhirnya meningkatkan PAD Jakarta).  Dengan rumah susun mengurangi keinginan untuk memiliki kendaraan pribadi karena harus membayar biaya parkir.  Sebagai konsekwensinya, sarana angkutan umum juga harus ditingkatkan, dengan banyaknya rumah susun, banyak orang akan lebih mengandalkan angkutan umum, trotoar akan lebih banyak digunakan oleh pejalan kaki yang pergi ke tempat kerja daripada digunakan oleh kaki lima.  Investasi pemerintah daerah untuk sarana-prasarana jalan raya bisa dialihkan untuk sesuatu yang lebih berguna seperti membuka ruang hijau, fasilitas umum dan menanggulangi banjir (seperti membangun dam, penampungan air dan perbaikan gorong-gorong) dan menjadikan Jakarta lebih manusiawi dan bermartabat.  Penyebab pertumbuhan kendaraan pribadi sebenarnya akibat bertumbuhnya kota-kota satelit di luar Jakarta,  seandainya sarana umum seperti bis di tambah sekalipun tidak akan mengurangi kebutuhan akan mobil atau  motor pribadi karena jarak ke tempat kerja jauh.  Mari kita bayangkan bila anda adalah pekerja dan anda tinggal di Bogor contohnya.  Berapa kali anda harus ganti kendaraan, berapa ongkosnya dan berapa lama waktu yang harus terbuang (belum lagi kalau bisnya gemar ngetem), apalagi dengan resiko-resiko naik angkutan umum seperti kecopetan, panas dan sesak, pembajakan dll.

Demikian tulisan saya, semoga tulisan ini boleh menolong pemda Jakarta untuk mengatasi kemacetan di Jakarta.  Harapan saya, saya ingin melihat kota Jakarta, sebagai ibu kota Indonesia boleh berkembang lebih baik lagi dan itu semua untuk generasi mendatang.  Hidup Jakarta, hidup Indonesia.

Yohanes Kusdharmanto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline