Lihat ke Halaman Asli

Yohanes Kafiar

Freelancer

Ketika Harus Memilih (Part.2)

Diperbarui: 4 Oktober 2022   18:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku makin mengerti akan sebuah masa depan (Pic :Andrea Piacquadio/pexels.com)

Aku dan Tono menempati kamar yang berada paling akhir dari kesepuluh buah kamar yang disediakan bagi kami. Kami diberi uang saku bulanan yang ditransfer langsung ke rekening. Sedangkan untuk biaya kuliah gratis, alias ditanggung oleh pemerintah. Bangunan yang kami tempati adalah satu unit barak kos-kosan putra yang terdiri dari sepuluh buah kamar. Masing-masing kamar berisi dua orang, sehingga total berjumlah dua puluh orang. Kami semua berasal dari satu kabupaten yang sama. Sedangkan teman-teman kami yang cewek, ditempatkan pada kos-kosan putri yang berbeda lokasi. Kami menyebut kos-kosan ini dengan panggilan "Asrama Putra," begitu pula kos-kosan putri dinamai "Asrama Putri."

"Ayo cepat Bon, nanti kita telat!"ujar Tono sembari menyemprotkan parfum ke tubuhnya. "sebentar Ton, perutku lagi mual! Aku menggosok perutku dengan minyak angin berulang-ulang, untuk mengurangi rasa mual. Barangkali gegara sop konro yang aku makan semalam, tak cocok di perutku. Memang beberapa hari ini aku gonta-ganti menu makan. Kucoba menu-menu baru yang belum pernah disuguhkan ibu di desa. Bukan bermaksud membanding-bandingkan, tapi sekedar hanya beradaptasi. Ibuku tetap yang terbaik dengan pepes bandeng dan sayur asamnya, menu kesukaanku.

Bus yang ditumpangi berhenti di halte kampus. Aku dan Tono turun. Pagi ini kami mengikuti kegiatan masa orientasi siswa (MOS) di Kampus. Aku dan Tono sekampus, hanya berbeda jurusan. Aku jurusan Bahasa Inggris sedangkan Tono Jurusan Gizi Pangan.

Pak Imran, Rektor di kampus ini tampil sebagai narasumber utama. Kata-katanya benar-benar kusimak satu per satu. "Ilmu adalah raja, ketika kalian miliki segudang ilmu, kamu akan disanjung, dipuji, kamu akan dihormati, dihargai, kalian akan memiliki strata sosial yang tinggi, kalian dibutuhkan banyak orang, pekerjaan mengejar anda, bukan anda mengejar pekerjaan,"Pak Imran berceramah dengan suara yang cukup berwibawa. Bapak contohkan seperti pengalaman bapak. 

Bapak tidak hanya sebatas rektor di kampus ini saja, bapak dipakai sebagai konsultan di perusahaan telekomunikasi, dan juga ketua tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) di beberapa Lembaga Negara. Aku makin terhipnotis dengan kata-kata beliau. Rasanya aku tak mau beringsut mengambil nasi kotak dan air mineral yang dibagikan panitia. Rasa lapar ini bisa terobati dengan wejangan pak Imran.

Setiba di asrama, aku langsung merebahkan diri di tempat tidur. Bukan karena rasa kantuk. Bukan karena rasa lelah. Ada sesuatu yang mengganggu dibenakku. kata-kata Pak Imran seolah membuka cakrawala pikiranku. Aku semakin sadar dan memahami masa depan. Ya, masa depan. Inikah yang disebut-sebut Endang ketika kami berpisah di desa? entahlah, yang pasti akan kuraih masa depan itu dan kupersembahkan untukmu, Endang! air mataku merembes di bantal.

Bersambung (Ketika Harus Memilih Part.3)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline