Lihat ke Halaman Asli

Yohanes Jeng

Filsafat

Penitensi, Absolusi dan Rahasia Pengakuan dalam Sakramen Tobat Gereja Katolik

Diperbarui: 18 November 2024   17:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pengantar

Dalam pengalaman pastoral di tengah-tengah umat, saya menemukan banyak pertanyaan yang berkaitan dengan ajaran-ajaran iman. Beberapa pengalaman yang mendorong saya membuat katekese singkat ini yakni, ketika umat bertanya kepada saya tentang sakramen tobat secara khusus mengenai kerahasiaan dalam pengakuan dosa. Dalam sharing tersebut mereka mengungkapkan bahwa kadang mereka mengalami ketakutan atau keragua-raguan untuk mengakukan dengan jujur dosa-dosa mereka kepada imam pengakuan. Takut bahwa pengakuan mereka dibocorkan oleh imam atau bahkan menjadi bahan atau materi khotbah dalam perayaan-perayaan liturgis. Akibatnya mereka hanya mengakukan dosa-dosa yang menurut mereka "biasa-biasa" saja tetapi tidak dengan dosa-dosa berat. Selain tentang rahasia pengakuan, pertanyaan-pertanyaan seputar sakramen tobat seperti apa itu penitensi, apa itu absolusi juga menjadi pertanyaan yang sering muncul dari umat. Berhadapan dengan kenyataan ini, saya menyadari betapa pentingnya katekese-katekese untuk memberikan pemahaman yang benar kepada umat mengenai iman dan ajaran Gereja Katolik. Dalam artikel katekese singkat ini, akan dijelaskan tiga hal penting dalam sakramen tobat yakni; penitensi, absolusi dan sifat rahasia dalam pengakuan dosa menurut ajaran resmi Gereja Katolik.

Absolusi

"Hai anak-Ku, dosa-dosamu sudah diampuni" (Markus 2:5)

Absolusi adalah pernyataan pengampunan atas dosa-dosa pribadi kepada orang yang bertobat. Absolusi berasal dari kata bahasa Latin absolvo yang berarti mengampuni, maka absolusi berarti pengampunan. Tindakan pemberian absolusi hanya dapat diberikan oleh imam berkat sakramen imamat yang melekat dalam dirinya. Kristus sendiri yang berwenang mengampuni dosa. Tindakan imam memberikan absolusi tidak lain adalah tindakan Kritus, sebab imam bertindak atas nama Kristus (In persona Christi). "Dosamu sudah diampuni" (Mrk 3:5)  rumusan absolusi ini diungkapkan oleh Yesus ketika Ia membebaskan para pendosa dan yang menderita ketika ketika mereka datang kepada-Nya. Melalui Sakramen Imamat, kuasa absolusi yang sama diberikan Kristus kepada para imam untuk membebaskan umat-Nya dari belenggu dosa dan memperbaiki hubungan yang retak dengan Allah dan sesama. Gereja percaya bahwa Kristus sendirilah yang berwenang mengampuni dosa melalui para imam yang tertahbis. Namun untuk sahnya sebuah absolusi dosa, pelayan sakramen tobat haruslah memiliki kewenangan melaksanakan kuasa itu terhadap umat beriman. Wewenang itu diberikan oleh ordinaris wilayah dan para pemimpin tarekat religius (Kan. 968-969). Namun dalam situasi-situasi khusus (situasi luar biasa) seperti seorang peniten berada dalam bahawa mati, imam manapun berkat tahbisannya dapat menerima pengakuan dan dapat memberikan absolusi (Kan. 976).

Membaca Kanon 966-973, kita menemukan tiga syarat fundamental yang harus dipenuhi oleh seorang pelayan sakramen tobat dan demi sahnya pemberian absolusi. Tiga syarat tersebut yakni kelayakan pelayan, intensi dan keadaan moral. Kelayakan pelayan berkaitan dengan kuasa sakramental yang diminta untuk perayaan sakramen yang bersangkutan. Kelayakan ini diperoleh berkat sakramen tahbisan dan wewenang yang diberikan oleh otoritas berwenang. Kelayakan itu juga dibuktikan melalui ujian atau dibuktikannya dengan cara yang lain (Kan. 970). Syarat kedua yakni intensi, ini berkaitan dengan kesadaran pelayan sakramen dalam melaksanakan sakramen. Sebagai tindakan manusiawi, pelayan harus melaksanakan sebuah sakramen dengan sadar, bukan tindakan mekanis dan otomatis.

Sebagai pelayan Kristus dan Gereja, pelayan harus menyadari bahwa dia bertindak bukan atas nama diri sendiri tetapi melakukan atas nama Kristus dan Gereja. Syarat ketiga keadaan moral, ini mengarah pada keadaan diri imam. Sebagai bapa pengakuan, imam perlu memiliki kualitas kebaikan, pengetahuan dan kebijaksanaan dalam dirinya. Kebaikan terarah pada kekudusan moral dan spiritual. Imam perlu mengembangkan kebaikan ini sehingga ia dapat dengan mudah menilai dan membantu peniten pada kehidupan moralnya. Pengetahuan untuk mengerti dan memahami persoalan-persoalan yang dialami oleh peniten, serta kebijaksanaan untuk mampu mengaplikasikan prinsip-prinsip moral dan rohani dalam kasus-kasus tertentu yang dialami oleh peninten.

Penitensi

Pertobatan adalah aspek penting dalam sakramen tobat. Katekismus Gereja Katolik menekankan bahwa tindakan peniten meliputi pertobatan, pengakuan atau pengungkapan dosa kepada imam, dan niat untuk melakukan perbaikan dan melakukan karya-karya perbaikan (KGK 1491). Kitab Hukum Kanonik menyatakan bahwa umat beriman yang mengakui dosa-dosa mereka kepada seorang pelayan yang sah, menyesalinya, dan berniat untuk mereformasi diri mereka sendiri memperoleh dari Allah melalui absolusi yang diberikan oleh pelayan yang sama, pengampunan atas dosa-dosa yang telah mereka lakukan setelah pembaptisan, dan pada saat yang sama, berdamai dengan Gereja yang telah mereka lukai karena dosa-dosa tersebut (KHK. 958).

Katekismus Konsili Trente menggarisbawahi pentingnya orang-orang yang bertobat dengan rendah hati dan sedih melemparkan diri mereka ke kaki imam, mengakui dosa-dosa mereka, dan dengan penuh permohonan memohon pengampunan atas kesalahan-kesalahan mereka. Penekanan pada rasa penyesalan yang mendalam adalah merupakan bagian integral dari sakramen tobat. Sakramen ini bukan hanya tentang mendapatkan pengampunan tetapi juga tentang pertobatan hati yang tulus (Ecclesia in Medio Oriente). Oleh karena itu aspek pertobatan dalam sakramen pengakuan dosa melibatkan pengakuan dosa, pertobatan yang tulus, dan niat untuk melakukan perbaikan, yang semuanya sangat penting untuk mendapatkan pengampunan dan rekonsiliasi dengan Gereja.

Jadi syarat pertama untuk memperoleh penebusan dosa adalah penyesalan yang sungguh-sungguh dan niat untuk memperbaiki diri, bertobat dan kembali kepada Allah (KGK. 987). Selain itu seorang peniten harus menerima dan menjalankan bentuk silih yang pantas yang diberikan oleh bapa pengakuan. "Bapa pengakuan hendaknya memberikan penitensi yang bermanfaat dan patut, sesuai dengan kualitas dan jumlah dosa, tetapi dengan mempertimbangkan keadaan peniten; dan peniten sendiri wajib memenuhi penitensi itu" (KGK 981). Dengan demikian melakukan silih melalui penitensi yang diberikan oleh imam adalah sebuah syarat untuk memperoleh penghapusan dosa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline