Lihat ke Halaman Asli

Yohanes de Brito Sutadi

Guru yang suka menginspirasi anak didiknya

Menulis Itu Susah Nak, Jangan Coba-coba Menulis

Diperbarui: 19 Maret 2021   22:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Betapa sulitnya memulai menulis. Selalu ada kekhawatiran yang muncul di benak, susah amat, ya, untuk mendapatkan ide, menyusunnya menjadi kalimat yang runtut, terjalin dalam satu kesatuan paragraf, sehati, kata pakar bahasa biar menjadi paragraf yang homogen alias 'nyambung'.

Boro-boro menyusun ide menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf, paragraf menjadi satu karangan. Untuk mendapatkan ide tulisan saja, harus saya akui kok amat sulit, ya. Mau menulis apa, ya? Padahal saya baru saja membeli domain blogger di Google selama setahun seharga Rp165.000-an. Ibarat orang bertani, sawahnya sudah tersedia, siap ditanami bibit ide tulisan. Lah, bibit tulisannya mana?

Saya jadi ingat tantangan guru bahasa Indonesia saya manakala saya masih menempuh pendidikan di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Pangudi Luhur Sedayu Bantul Yogyakarta sekitar tahun 1985-an. 

Beliau  getol menantang saya untuk ayo menulis, menulis, dan menulis. Zaman itu tulisan beliau banyak bersliweran di Mingguan Hidup yang diterbitkan oleh Komsos Keuskupan Agung Jakarta. 

Selalu saja ada alasan yang 'menolongku' untuk berkilah, ah...tunggu aku punya mesin ketik dulu. Eh, pas sudah bisa kredit mesin ketik dobel folio merek Olivetti Linea 98 (mewah lho zaman itu) jika beli cash Rp75.000,00, kok ya belum  segera menelorkan satu tulisan pun. Niat menulis ternyata belum tergugah juga. 

Ah, mesin ketik manual lumayan merepotkan untuk menuangkan ide. Jika salah ketik tidak bisa diedit, kecuali ditip-ex dengan cairan tip-ex. Sedikit lebih mudah jika dengan mesin ketik elektrik. Jika ada salah ketik, tinggal ditimpa dengan pita tip-ex. Bentuk pitanya putih, arahkan tuts mesin ketik ke huruf yang salah ketik. 

Lalu diketik ulang sesuai huruf yang mau dikoreksi. Hilang sudah huruf tersebut. Tinggal ketik lagi huruf yang benar. Tapi mana tulisan yang ditunggu-tunggu itu? Kok tidak nongol satu tulisan pun? Ah, tunggu nanti kalau sudah punya komputer atau laptop. 

Menuangkan ide tulisan dengan komputer atau laptop pasti jadi lebih mudah. Kalau terjadi salah ketik, tinggal diedit. Asyik. Eh, tapi mana tulisan yang ditunggu-tunggu itu?

Giliran saat sudah menjalani tugas menjadi guru mata pelajaran Bahasa Indonesia dari tahun 2003 hingga sekarang, bisa dihitung dengan jari tangan saya, berapa tulisan saya yang layak dibaca. Tidak sampai sesuai jumlah jari jemari tangan saya. 

Yang saya ingat, cuma ada dua tulisan yang layak dibaca, yaitu skripsi saya tahun 2002 sebagai syarat untuk meraih gelar S.Pd Bahasa Indonesia dan thesis  saya tahun 2019 lalu sebagai syarat untuk menyandang gelar M.Pd Bahasa Indonesia. Ha...ha...ha...kebangetan, ya. 

Betapa keringnya saya dalam menulis. Padahal saya sejak tahun 2003 hingga sekarang tak jemu-jemunya mendorong-dorong murid-murid saya untuk menulis (cerpen).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline