Lihat ke Halaman Asli

Kutukan di Balik Kekayaan dan Kesenangan

Diperbarui: 7 November 2024   20:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jakarta merupakan salah satu kota dengan jumlah penduduk yang cukup atau bahkan bisa dikatakan sangat padat. Kepadatan dari penduduk tersebut juga diikuti dengan padatnya kendaraan-kendaraan bermotor yang berseliweran kesana kemari. Dari kendaraan tersebut, pengunaan bahan bakar fossil yang digunakan telah meninggalkan banyak jejak karbon yang kita kenali sekarang sebagai sebuah polusi. Dapat menggunakan kendaraan pribadi di Jakarta tentu menjadi sebuah kesenangan tersendiri karena kita dapat menjadi berpergian kemana saja yang kita inginkan. Tetapi, dibalik kesenangan tersebut ternyata ada efek samping yang secara tidak langsung akan dapat sangat berdampak ke dalam kehidupan kita sehari-hari.

Di tahun 2023, kualitas udara Jakarta berada di titik terburuknya. Dari adanya hal tersebut, kualitas udara yang ada pun dinilai sebagai sebuah kualitas yang tidak sehat. Dengan angka partikel udara yang berada di angka 2,5 dan nilai konsentrasi 83,72%. Hal tersebut membuat tingkatan kualitas udara Jakarta pada bulan Oktober 2023 menjadi yang terburuk. Tetapi, perbaikan dalam segi penurunan pencemaran udara yang ada di Jakarta pun mulai terjadi di tahun 2024. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya penurunan angka konsentrasi di Agustus 2024 dengan angka 61,77%. Hal tersebut masih jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan tahun 2023 yang lalu.

Memiliki kota dengan kualitas udara yang berpolusi cukup tinggi tentu menjadi sebuah hal yang tidak enak untuk didengar. Tidak hanya untuk didengar, tetapi bagi kita yang menjalani kehidupan sehari-hari di kota Jakarta. Hal tersebut juga tidak nyaman untuk kita dapat menikmati udara yang segar. Masyarakat Jakarta dihadapkan pada kesadaran kolektif akan kepedulian yang rendah terhadap penjagaan kualitas udara. Munculnya penyakit pernapasan, gangguan kardiovaskular, dan penurunan kualitas kehidupan telah menjadi masalah nyata yang muncul di depan mata. Polusi udara yang sedang terjadi, diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk dapat berkontribusi dalam menjaga kualitas udara yang lebih baik. Tentu akan menjadi sangat tidak nyaman, apabila kita terus-menerus hidup di tengah permasalahan polusi yang tidak menyehatkan bagi sistem kesehatan dan pernapasan kita.

Sebagai orang Jakarta, tentu kemudahan mobilitas dari suatu tempat ke tempat lain menjadi sebuah hal yang sangat diperhatikan. Untuk menunjang hal itu, penggunaan kendaraan pribadi dengan kursi yang nyaman dan kabin yang sejuk dan bisa membebaskan kita untuk bisa bermobilitas dengan fleksibel tentu sangat cocok. Tetapi, tidak kita sadari bahwa dibalik kursi yang nyaman dan kabin yang sejuk serta angin yang sepoi-sepoi. Gas buang yang bersifat polutif telah banyak keluar dari knalpot mobil maupun motor yang kita kendarai maupun tumpangi setiap hari. Beberapa tidak dapat dilihat dengan kasat mata, beberapa mengeluarkan asap yang bahkan dapat dilihat dengan mata telanjang. Kombinasi asap putih dan hitam dengan suara bising dari mesin telah mewarnai Jakarta.

Kenyataannya di realitas saat ini, di tengah berbagai polemik yang terjadi di Jakarta. Polusi udara menjadi suatu permasalahan yang dapat dikatakan memperburuk kondisi Jakarta itu sendiri. Tentu tidak dapat dipungkiri bahwa untuk pencemaran udara tidak terjadi di Jakarta merupakan hal yang sangat sulit untuk direalisasi. Setiap negara yang dihuni oleh manusia tentu memiliki permasalahan ini bahkan dalam jumlah yang sedikit sekalipun. Tetapi, sebuah pencemaran udara tentu bukan berarti tidak dapat dikurangi maupun diminimalisir. Dengan tindakan meminimalisir pencemaran udara secara perlahan melalui setiap aspek dari masyarakat yang berpartisipasi aktif. Hal tersebut akan sangat bermakna apabila melalui aksi kecil saja pencemaran udara di Jakarta sudah dapat diminimalisir, tentunya melalui aksi yang lebih masif akan dapat lebih berdampak lagi.

Dari adanya penurunan terhadap kualitas udara yang kita alami saat ini. Beberapa tindakan untuk sedikit demi sedikit meningkatkan kualitas udara untuk menjadi lebih baik lagi dapat dilakukan. Beberapa tindakan tersebut seperti penggunaan kendaraan umum yang telah disediakan seperti Transjakarta, Commuter line, LRT, MRT, dan lain-lain dapat dimanfaatkan sebagai salah satu cara untuk dapat menjadikan kualitas udara di Jakarta menjadi lebih baik dari sebelumnya. Tindakan lebih lanjut yang juga mendukung peningkatan kualitas udara di Indonesia seperti penggunaan mobil listrik yang lebih berskala masif juga bisa menjadi opsi yang bisa dikembangkan. Semua langkah yang bisa dilakukan tersebut tentunya berpusat pada satu tujuan, yaitu untuk membuat kualitas di udara menjadi lebih baik dibandingkan dengan realitas saat ini.

Tetapi, apakah cara dalam menangani permasalahan iklim yang ada di Jakarta dengan mengambil Langkah untuk semakin mengembangkan kendaraan listrik merupakan hal yang tidak berpengaruh bagi wilayah lain? Tentu saja hal tersebut akan terlalu indah untuk terealisasi. Nyatanya, di masa sekarang ini eksploitasi alam secara besar-besaran telah terjadi untuk mendapatkan salah satu bahan terpenting bagi terbentuknya kendaraan listrik yaitu nikel. Beberapa wilayah di Indonesia telah mengalami kerusakan dalam skala besar sebagai akibat dari adanya pengerukan tanah, hal tersebut pun berdampak besar juga bagi seluruh masyarakat yang ada di sekitar tempat terjadinya eksploitasi besar-besaran tersebut.

Wilayah Sulawesi sudah menjadi bukti nyata dari realisasi eksploitasi alam untuk diambil nikelnya. Daerah Sulawesi Selatan, tepatnya di desa yang bernama Loeha dan Desa Rante Angin telah menjadi sebuah gambaran dari ambisi yang tidak terbendung, menghasilkan kerusakan yang tidak dapat dibendung. Dari adanya eksploitasi alam yang berlebihan, kedua desa tersebut setidaknya sudah kehilangan lahan mereka yang seluas 17,8 hektare. Hal ini tentunya menjadi suatu keprihatinan yang bersama mengingat bahwa mereka adalah masyarakat Indonesia yang juga berhak untuk bisa memanfaatkan kekayaan alam Indonesia untuk kebutuhan mereka.

Deforestasi hutan secara masif, seakan-akan memperlihatkan betapa tamaknya suatu korporasi serta pemerintah untuk mencapai kota yang ideal dengan kendaraan listrik bepergian kesana-kemari. Dampak lingkungan berupa pencemaran yang merusak kualitas air karena pengaruh debu dari pertambangan juga tidak dapat dihindari. Populasi satwa endemik yang berkurang karena kerusakan ekosistem, juga menjadi hal yang semakin memperburuk dampak dari eksploitasi alam yang secara pada mulanya sudah sangat buruk.

Indonesia yang kita tinggali sekarang ini telah berada di titik di mana kita lebih mementingkan hasil yang ingin dicapai. Tetapi, diluar hal tersebut, kita tidak memedulikan akan proses yang diperlukan untuk mencapai hasil tersebut. Kita tidak memedulikan akan efek samping dari suatu proses terhadap hasil yang ingin kita capai. Hal tersebut membuat pada akhirnya di balik kekayaan dan kesenangan yang terdapat di suatu wilayah, kutukan berupa kesengsaraan datang di wilayah lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline