Ben Anderson dan Kajian Peranakan
Dalam artikelnya yang berjudul "Tjino' di Indonesia", Ben Anderson memaparkan analisanya tentang akar dari tindakan diskriminatif dan kekerasan fisik yang dialami oleh orang-orang etnis Tionghoa di Indonesia. Ben mengawali uraiannya dengan menuliskan, secara historis, posisi dari orang-orang Tionghoa dalam masyarakat di Indonesia melalui sebuah pembedaan dengan kondisi di Filipina.
Pada dasarnya, diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh orang-orang Tionghoa di Indonesia dan Filipina berakar kepada perasaan terancam dan sekaligus ketergantungan Kumpeni (penjajah) terhadap mereka. Perasaan terancam muncul akibat jauhnya kampung halaman para Kumpeni dengan daerah jajahan mereka.
Namun Kumpeni juga bergantung pada orang-orang Tionghoa dalam rangka meramaikan pusat-pusat perdagangan mereka di tanah jajahan. Kondisi tersebut kemudian membuat Kumpeni harus mengawasi betul aktifitas orang-orang Tionghoa demi kelancaran kepentingan Kumpeni di tanah jajahan.
Perbedaan muncul terkait masalah peranakan Tionghoa di Indonesia. Menurut Ben, diskriminasi serta kekerasan yang dialami orang-orang Tionghoa dan peranakannya di Indonesia memiliki ciri khusus yang berbeda dengan di Filipina. Ciri khusus ini muncul akibat cara pandang Kumpeni Belanda terhadap orang-orang Tionghoa dan peranakannya itu.
Didasari oleh "alergi" Kumpeni Belanda terhadap segala macam percampuran, peranakan orang Tionghoa, yang lahir melalui perkawinan campur antara laki-laki Belanda dengan perempuan Tionghoa, statusnya bergantung pada mau atau tidaknya sang Ayah Belanda mengakuinya sebagai keturunannya. Hal ini kemudian menjadi hukum di tanah jajahan.
Selain hukum status peranakan, Kumpeni Belanda juga melakukan sistem ghettoisasi terhadapa orang-orang Tionghoa. Sistem tersebut dilakukan untuk memperkecil kemungkinan orang-orang Tionghoa beraliansi dan berasimilasi dengan pribumi.
Bersatunya orang-orang pribumi dengan orang-orang Tionghoa tentunya akan sangat berbahaya bagi kepentingan Kumpeni Belanda, yang jumlah orangnya di tanah jajahan lebih sedikit. Orang-orang Tionghoa itu diatur sedemikian rupa supaya tidak melestarikan budaya Tionghoa (tidak boleh menyelenggarakan sekolah), namun juga dicegah untuk menyatu dengan pribumi, mereka dibentuk untuk menjadi "bantji" dalam berbagai aspek sosial.
Sebagai pembanding, diskrimansi dan kekerasan terhadap orang-orang Tionghoa (disebut Sangley) di Filipina tidak sampai berimbas kepada keturunan mereka, yang lahir dari pernikahan antar etnis. Kelompok orang-orang peranakan yang disebut "mestizo" ini memiliki hak dan status yang berbeda di mata Kumpeni Spanyol di Filipina.
Orang "mestizo" yang dibesarkan dalam budaya agama Katholik milik Ibunya (non Tionghoa) tidak lagi memahami budaya Tionghoa, bahkan tidak dapat berbahasa Tionghoa. Melalui mekanisme ini masyarakat Tionghoa atau Sangley tersebut dibatasi populasi dan gerak-geriknya.
Mata Rantai Kekerasan Terhadap Tionghoa Peranakan