Mungkin banyak mengira bahwa sikap berlebihan dari turis asing di Bali di karenakan sikap superior bangsa asing daripada masyarakat pribumi, yang akan di hubungkan dengan keterkaitan kolonialisme di dunia di masa lalu, termasuk dampaknya pada Negara Indonesia yang mengalami fase kolonialisme 3 abad lebih. Kalaupun ada, sikap orang asing seperti itu tidak akan menggunakan pandangan yang demikian.
Karena di masa lalu sikap ini ada, dari pandangan pembedaan atas nama golongan dari teori darwinisme sosial. Pandangan ini diawali dari kesepakatan ilmu pengetahun tentang kemunculan teori evolusi Darwin ( Biologi ) yang berbicara tentang asal usul manusia, sehingga sampai sekarang banyak olokan tentang asal usul manusia dari kera.
Teori evolusi yang di gunakan dalam ilmu sosial ternyata membuat malapetaka kemanusiaan di perkembangan umat manusia, kemampuan beradabtasi dengan keadaan dan kompetisi untuk bertahan hidup membawa kearah struktur sosial yang menindas karena ada penggolongan manusia unggul dan manusia yang bisa di manfaatkan menjadi budak serta berhak di musnahkan dari muka bumi. Sehingga sering kita dengar tentang ras kulit hitam dan berwarna untuk bisa diperbudak serta isu anti semit salah satunya kaum yahudi sebagai incaran pemusnahan ala genosida.
Bali tidak terbentuk karena kondisi superioritasan penggolongan itu. Karena Bali adalah pulau dengan bisnis pariwisata, yang kecenderungan untuk memberikan fasilitas pelayanan maksimal kepada wisatawan. Bisnis jasa yang merupakan bisnis mayoritas di industri wisata, tentunya akan memberikan pelayanan terbaik untuk tamu yang berwisata, sehingga muncul istilah tamu adalah raja. Kenyamanan untuk menikmati keadaan dengan waktu lama atau berulang ulang membuat wisatawan asing memperpanjang waktu tanpa peduli untuk kembali ke negaranya karena menganggap bahwa pelayanan di Bali akan memfasilitasi kehidupanya dengan mudah.
Makanya sempat ada di masa pandemi pemberitaan tentang sebuah akun twitter mengenai warga asing yang memberikan ajakan ke warga asing lain untuk tinggal di Bali selama pandemi, dimana banyak Negara, termasuk Indonesia terutama Bali melakukan lock down. Selain biaya hidup murah, gaya hidup mewah, ramah pada Queer (bagian dari LGBT+), dan adanya komunitas kulit hitam di Bali, yang menjadi kontroversi adalah soal agen visa dan cara agar orang-orang bisa datang ke Bali saat pandemi COVID-19 ( dw.com 18 januari 2021 ).
Bali yang didesain sebagai pulau pariwisata, membiasakan untuk beraktivitas melayani, sampai pada titik dimana pelayanan yang berlebihan tidak berimbang dengan aturan tertentu yang harus di taati, mengakibatkan penafsiran keliru kepada mereka yang mutlak memikirkan bahwa pelayanan adalah keutamaan ideal pariwisata Bali. Untuk itu dibutuhkan keseimbangan antara pelayanan sebagai fungsi pariwisata dengan ketetapan aturan, baik Negara atau adat Bali yang harus di taati. Keselarasan ini yang nantinya akan menimbulkan keharmonisan kehidupan antara orang asing dan warga pribumi bali.
Aturan yang keras dan kaku, dari pemerintah ataupun warga asli Bali tidak menjadi solusi utama. Sehingga apabila kemarin ada sikap dari warga Bali yang menuntut tentang harga dirinya, kemungkinan karena kekesalan akibat dari keadaan yang tidak selaras tadi, antara anggapan warga asing tentang kedudukanya di Bali dan warga pribumi yang menganggap sikap pelayananya selama ini tidak dihargai. Keseimbangan antara aturan yang memberikan sangsi untuk memberikan efek jera sambil memberikan sikap ramah dan melayani, tentunya akan memberikan keharmonisan sesungguhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H