Melenggangnya Gibran sebagai calon presiden Prabowo Subianto di perhelatan pilpres 2024 ternyata menuai pro-kontra publik. Banyak yang menganggap bahwa pencalonan Gibran sebagai wakil presiden merupakan sebuah proses instan dan special sebab ia merupakan anak presiden. Proses instan inilah yang ditengarai banyak melahirkan problematika hukum dan krisis moralitas menjelang momentum pemilu 2024.
Kontroversi Pencalonan Gibran sebagai wakil presiden semakin deras diisukan oleh lawan-lawan politiknya. Sebut saja, kubuh PDIP yang dulu kawan sekarang menjadi lawan. Bahkan Puan Maharani sempat melontarkan isu bahwa Pencalonan Gibran merupakan sebuah perwujudan politik Neo Orba lantaran penuh dengan aroma nepotisme terkait keputusan MK No 90, yang memperkuat basis legitimasi Gibran melenggang di pilpres 2024.
Tidak hanya PDIP, bahkan di beberapa media masa maupun media sosial beragam aksi netizen mengomentari secara gamblang terkait kontroversi Pencalonan Gibran lebih-lebih terkait keputusan MK No 90 yang dinilai cacat moral dan bahkan banyak netizen sempat memplesetkan nama MK sebagai Mahkamah Keluarga.
Hingga saat ini, isu terkait Noe orba setidaknya manjadi amnusisi baru bagi kubuh banteng untuk mendegradasi legitimasi dan kekuatan politik Gibran, lantaran beberapa hasil survei terakhir tren elektabilitas pasangan Prabowo- Gibran ternyata unggul di kisaran angka 35 persen, dan salah satunya yang dilakukan indobarometer pada tanggal 25-31 Oktober dengan keunggulan angka Prabowo-Gibran mencapai 35, 8 persen.
Spekulasi terkait nepotisme di balik keputusan MK akhir-akhir ini setidaknya memaksa nalar publik untuk mengartikulasikan kembali asas netralitas dari berbagai lembaga negara terhadap proses pemilu 2024 nanti. Hal ini tentu menjadi bola panas politik, bila mengacu kepada diri Gibran yang adalah putra dari seorang presiden yang masih menjabat.
Identitas "istana" yang masih melekat pada wajah politik Gibran setidaknya merupakan pintu pembuka bagi isu neo orba kembali hadir menjelang momentum pilpres kali ini. Dan ujungnya bagaimana pekikan netralitas itu paling tidak meraung-raung di telinga Jokowi.
Lantas, Seberapa pentingkah isu neo orba ini dimainkan oleh lawan politik Gibran di dalam kanca perpolitikan tanah air menjelang pilpres?
Pertanyaan ini sebenarnya memantik daya pikir untuk bergegas jauh menelurusri jejak-jekak keberhasilan politik pembangunan Jokowi selama kurang lebih 9 tahun memerintah.
Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini angka kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi hampir mencapai angka 80 persen. Dengan angka ini, secara matematis tentu kita dapat mengkalkulasi besaran potensi suara yang dialamatkan kepada Prabowo-Gibran, yang adalah representasi arah politik pembangunan Jokowi. Faktor Jokowi efek setidaknya adalah faktor dominan di dalam dinamika politik Indonesia hari ini dan sekaligus merupakan sebuah keyakinan politik bagi Koalisi Indonesia Maju untuk memenangkan Prabowo-Gibran satu putaran.
Mengimbangi dominasi ini, tentu isu terkait Neo Orba yang dialamatkan kepada keluarga Jokowi setidaknya dimainkan untuk mengunci kekuatan politik Gibran di dalam kontestasi pilpres 2024 mendatang. Sehingga dengan demikian sebaran potensi suara tidak lagi menumpuk pada Prabowo-Gibran melainkan ke dua pasangan lainnya yakni Ganjar-Mahfud dan Anis-Muhaimin.
Isu neo orba dan sederetan isu anti Jokowi lainnya saat ini masih lincah dimainkan oleh lawan politik Jokowi, Lebih-lebih dari kubuh PDIP. Berawal dari kawan dan sekarang pisah jalan ternyata potensi dendam politik itu semakin hari semakin kelihatan. Entah dari Jokowi maupun dari Megawati, keduanya yang jelas telah memilih jalan politiknya sendiri. Jokowi ke Prabowo, Mega ke Ganjar.
Pertarungan pilpres 2024 bukan hanya semata pertarungan kandidat capres dan cawapres melainkan pertarungan tiga tokoh besar politik tanah air, Jokowi, Mega dan Surya Paloh. Percaturan politik di antara ketika tokoh ini tentu memunculkan misteri politik tragedi; dendam dan penghianatan. Panggung tragedi itu setidaknya sedang di pertontonkan kepada penikmat seni, dalam hal ini publik.
Lebih-lebih tragedi Kawan jadi lawan, di antara Jokowi dan Megawati. Perseteruan ini kelihatannya akan mencapai klimaks, jika yang diuntungkan adalah Anis-Muhaimin. Potensinya seperti itu, jika perseteruan ini tak kunjung pula berakhir. Seperti mengais di antara puing-puing ambisi dan visi misi, ke dua tokoh ini sebenarnya terjebak di dalam arus kekuasaan. Penumpang-penumpang gelap demokrasi dan kemungkinan pula yang bersarang di tembok putih istana sebenarnya memanfaatkan situasi dan kondisi untuk merabah-rabah kepentingan kapitalis di balik selimut dinasti. Inilah yang paling tidak difilter betul di dalam memurnikan buah-buah kerja nyata Jokowi di dalam konteks perhelatan pilpres 2024 mendatang.