Lihat ke Halaman Asli

Hans Hayon

Yohanes W. Hayon

Mengontrol Tubuh Perempuan

Diperbarui: 11 Juli 2021   22:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: pixabay.com

Bukan Kau yang Pertama

......
....
Sejujurnya telah kukatakan bukan, bukan dirimu
Yang pertama kali menyentuh hatiku menyentuh tubuhku

Masih kuingat saat itu jawab di bibirmu
Apa pun terjadi kau tetap menyayangiku
.....
....

Tapi apa yang terjadi manisnya kurasakan sesaat saja
Kau buka kembali lembaran yang dulu yang telah berlalu
......
Sungguh kau terlalu sumpah demi apa kini tak berarti lagi

Meriam Belina tahu apa artinya memiliki tubuh seorang perempuan yang hidup di dalam budaya yang didominasi oleh cara berpikir kaum laki-laki. Semua perempuan di Indonesia tahu baik hal ini, bahkan ketika mereka diputuskan oleh pacarnya hanya karena dianggap tidak lagi perawan. Bahkan semua lelaki di Indonesia tahu bahwa keperawanan adalah asosiasi seksual yang diciptakan oleh kaum laki-laki untuk melestarikan kepentingannya sendiri.

Tetapi, mengapa semua hal ini begitu sulit diubah? Apa artinya menjadi yang pertama? Pemikiran keparat macam apa yang membuat menjadi yang kedua dianggap kurang beruntung daripada yang pertama? Bagaimana mekanisme penilaian untuk menentukan seseorang itu pertama atau bukan? Bagaimana mungkin ada ungkapan kurang ajar yang selalu ada di kepala tidak sedikit generasi saat ini: perempuan ingin menjadi yang terakhir dan laki-laki ingin menjadi yang pertama?

Jawaban paling cepat yang dapat saya berikan saat ini adalah: sejak saya lahir hingga saat ini, perempuan sepenuhnya tidak memiliki otonomi atas tubuh mereka sendiri, sekeras apa pun mereka berusaha, sepahit apa pun mereka menderita.

Hingga akhirnya, dengan hadirnya pandemi yang diikuti praktik politik pengontrolan atas tubuh warga negara di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia, lirik lagu di atas terasa semakin relevan.

Frasa "bukan kau yang pertama" adalah bahasa paling sehari-hari sekaligus ekperimentasi konkret dari tubuh perempuan sebagai tubuh politik. Maksudnya, ketika tubuh perempuan dipatenkan dalam standar-standar tertentu, diperebutkan dalam pelbagai arena, dibela dan dipecundangi oleh perbagai kalangan dan lapisan masyarakat, ia menjadi tubuh politik. Singkatnya, tubuh politik adalah sebuah konsep yang digunakan untuk mengalisis bagaimana kebijakan negara menciptakan (atau tidak menciptakan) ruang bagi keagenan kaum perempuan.

Dalam Women and the State in Modern Indonesia (Cambridge University Press, 2004:25-26), Susan Blackburn menulis bahwa dengan adanya UU Nomor 5 Tahun 1974, rezim orde baru berupaya menerapkan pola-pola perilaku untuk diteladani bagi setiap kelompok di mana kaum perempuan diberi peran "alami" dan seragam sebagai pemelihara anak yang lemah lembut serta pendukung kegiatan dan kepentingan kaum laki-laki yang lebih besar dan lebih penting, juga tunduk pada kaidah "keibuan" yang didukung oleh negara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline