Lihat ke Halaman Asli

Saat Pawang Hujan Menjadi Sumber Konflik Antar Kampung

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13297381062008344319

[caption id="attachment_172349" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi(jakartacity.olx.co.id)"][/caption]

Selain kaya akan sumber daya alam, Indonesia juga kaya akan dunia klenik dan perdukunan yang bisa mencakup segala sisi kehidupan masyarakat. Salah satu spesialisasinya adalah Pawang hujan. Semua masyarakat pasti mengenal Pawang hujan yaitu seseorang yangberperan mengontrol hujan sesuai permintaan kliennya. Biasanya mereka (baca: pawang hujan) berperan penting dalam mendukung acara-acara yang berlokasi di outdor dengan cara menahan hujan --jika saat musim hujan-- agar acara tersebut dapat berjalan dengan lancar. Hampir semua lapisan masyarakat mempercayai kekuatan sang pawang sehingga banyak event-event bergengsi yang menggunakan jasanya.

Menurut berita palembang.tribunnews.com, tujuh pawang hujan bekerja menghalau hujan saat pembukaan Sea Games XVII di Jakabaring Sport Center pada tanggal 11 November 2011 yang lalu. Hal ini dinyatakan sendiri oleh Gubernur Sumatera Selatan, Alex Noerdin meski teknologi menghalau hujan sudah dilakukan oleh Tim Modifikasi Cuaca (TMC) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Ternyata kepercayan akan kesaktian Pawang hujan masih mendominasi mindset kita.

Pawang hujan lahir dalam setiap budaya berbagai suku di Indonesia yang awalnya hanya untuk kebutuhan lokal masyarakat atau kampung  di mana ia berada --belum sekomersial sekarang. Berkaitan dengan hal ini ada cerita menarik yang dikisahkan oleh Ernst Vatter, seorang Antropolog asal Jerman yang pada tahun 1929 meneliti kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar gunung (Ile) Mandiri, Flores Timur --bukunya berjudul Ata Kiwang.

Salah satu fokus penelitiannya adalah sebab-sebab peperangan yang terjadi antar kampung di wilayah tersebut yang biasanya disebabkan oleh beberapa hal, seperti pencurian, pengkhianatan perkawinan, pencurian perempuan, hutang yang tidak dilunasi, penghinaan dan yang unik adalah karena pawang hujan atau dukun (molang). Dikisahkan bahwa meski sedang musim hujan, namun hujan belum turun selama beberapa hari di sebuah kampung yang bernama Loloba/Lewoloba. Oleh karena itu sang dukun (molang) ditugaskan untuk meminta hujan agar tanaman tidak mati kekeringan.

Sang dukun pun mulai beraksi dengan mengorbankan seekor babi dan meminta hujan dengan mengucapkan doa-doa keramat yang dikuasainya. Beberapa hari setelah upacara itu hujan turun sangat deras disertai angin yang kencang sehingga merusak tanaman masyarakat di kampung tetangga. Hal ini menyebabkan sang dukun disalahkan oleh masyarakat kampung tetangga karena dituduh meminta hujan terlalu banyak maka konflik pun tidak terhindar antar kedua kampung. Hal yang dianggap lucu oleh Ernst Vatter dan istrinya yang merupakan orang Eropa.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline