[caption id="attachment_170404" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi: Petugas mengambil foto warga untuk pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Kelurahan Pagangsaan, Jakarta Pusat, Selasa (14/9/2010)./Admin (KOMPAS Images/Dhoni Setiawan)"][/caption]
Selama saya memiliki KTP baru kali ini proses pembuatannya berlangsung di tengah malam. Saya masih bingung, pengalaman membuat e-KTP yang baru saja dilakukan kami sekeluarga ini merupakan pengalaman yang menyebalkan atau lucu. Sebenarnya proses pembuatan e-KTP ini sungguh menyebalkan, namun karena banyak warga yang bersungut-sungut ketika sedang mengantri maka saya tidak ingin "memperkeruh suasana" dengan hanya tersenyum saja. Berusaha menikmati proses panjang ini dan mengambil hikmahnya.
Proses pembuatan e-KTP ini berawal saat orang tua istri saya menelpon kami (saya dan istri) untuk bersama-sama membuat e-KTP pada tanggal 11 Februari 2011 sesuai undangan dari Kelurahan Duren Jaya, Kecamatan Bekasi Timur. Saat ini nama kami masih masuk dalam daftar Kartu Keluraga (KK) mertua karena kami yang baru menikah belum membuat KK sendiri.
Pada tanggal 11 Februari 2011, tepat pukulnya 7.30 WIB kami sudah tiba di rumah mertua dan saya diminta berangkat duluan ke kantor kecamatan Bekasi Timur untuk mengambil nomor antrian dengan membawa undangan dari kelurahan. Saat berangkat ke kecamatan saya bertanya-tanya kenapa pembuatan e-KTP ini tidak dilakukan di kelurahan seperti di jakarta dan beberapa wilayah lainnya? Apa karena halaman kantor kecamatan yang lebih yang lebih luas sehingga bisa menampung banyak orang? Ataukah ada alasan lain?
Jawabannya baru saya temui ketika tiba di kantor kecamatan pada pukul 8.00 WIB dan halaman kantor itu sudah dipenuhi ratusan orang, mungkin ribuan. Melihat orang sebanyak itu, saya membayangkan bahwa proses pembuatan e-KTP ini pasti memakan waktu yang sangat lama. Setelah bertanya, ternyata warga segitu banyak berasal dari tiga kelurahan yang berbeda yaitu kelurahan Aren Jaya, Duren Jaya dan Bekasi Jaya. Saya tidak tahu berapa jumlah RW/RT yang diundang per kelurahan, namun yang pasti jumlah warga saat itu sangat banyak.
Agar cepat mendapatkan nomor antrian, saya bergegas menyerahkan undangan dari kelurahan. Ternyata undangan tersebut langsung ditumpuk panitia dan menyuruh saya menunggu karena nanti akan dipanggil untuk mendapatkan nomor antrian foto. Terpaksa saya bergabung bersama warga lain di bawah sinar matahari yang untungnya belum terlalu menyengat karena hari masih pagi. Terdengar panitia memanggil nama-nama kepala keluarga dari tiga kecamatan yang berbeda untuk memperoleh nomor antrian. Sesekali panitia juga memanggil nomor-nomor antrian yang telah diperoleh warga agar segera masuk ke ruang tunggu sebelum dipanggil lagi untuk difoto. Oleh karena merasa tidak jelas kapan akan dipanggil, maka saya mencoba bertanya kepada beberapa warga bahwa sejak kapan undangan mereka dikumpulkan. Jawaban mereka membuat saya kaget karena banyak yang sudah mengumpulkan undangannya sejak pukul 05.00 pagi dan baru dipanggil pukul 08.00 ketika saya datang. Jika begitu maka kapan saya akan dipanggil? Kemungkinan pukul 11.00 sehingga saya memutuskan untuk pulang ke rumah --untungnya kantor kecamatan tidak terlalu jauh-- nanti baru kembali lagi.
Tepat pukul 11.00 saya kembali lagi ke kantor kecamatan bersama keluarga karena kami beranggapan proses pembuatan e-KTP dapat dilakukan jika sudah memiliki nomor antrian. Setelah menunggu selama tiga jam, akhirnya nama mertua saya dipanggil dan kami yang berjumlah 6 orang mendapat nomor antrian 1348, 1349, 1350, 1351, 1352 dan 1353. Ternyata kami orang ke 1300 an yang menyerahkan undangan kelurahan, hal ini sudah saya duga sebelumnya. Berhubung nomor antrian yang dipanggil baru nomor 200 an maka kami memutuskan untuk kembali lagi ke rumah. Sekitar pukul 16.00 saya kembali untuk ke tiga kalinya ke kantor kecamatan --kali ini motor saya parkir di luar kompleks kantor karena percuma membayar parkir lagi jika urusannya belum selesai-- guna mengecek nomor antrian yang telah dipanggil dan ternyata masih sampai nomor 630. Saya iseng bertanya kepada petugas berapa total nomor antrian dan ternyata totalnya mencapai 1800 an. Sebenarnya bisa lebih dari 2000 jika tidak dicegah dan disarankan oleh petugas agar datang lagi pada hari senin.
[caption id="attachment_170403" align="aligncenter" width="468" caption="Ilustrasi (triyantobanyumasan.wordpress.com)"]
[/caption]
Sejak pukul 14.00 --ketika kami meninggalkan kantor kecamatan-- hingga pukul 16.00 (2 jam) sudah dipanggil 300 nomor sehingga saya mengira-ngira nomor kami akan dipanggil sekitar pukul 22.00-23.00 WIB. Oleh karena itu, pada pukul 22.00 kami kembali lagi ke kantor kecamatan dan ternyata suasana masih cukup ramai karena banyak orang masih menunggu gilirannya. Halaman kantor kecamatan seperti pasar malam karena banyak pedagang yang berusaha mencari rezeki di tengah keramaian. Ada yang menjual balon karena banyak anak kecil diajak orang tuanya, pedagang rokok, minuman dan makanan.
Saya segera bertanya kepada warga tentang jumlah nomor antrian terakhir dan ternyata masih nomor 994, berarti masih ada 300 orang sebelum kami. Ternyata dugaan saya meleset, karena tidak menghitung waktu sholat dan istirahat para petugas. Giliran kami kemungkinan masih 2 hingga 3 jam lagi dan kami memutuskan untuk pulang lagi ke rumah daripada berdiri menunggu karena tempat duduk yang ada masih penuh. Malam ini kami merasa sangat konyol sekali karena mondar mandir ke kantor kecamatan namun belum ada hasilnya. Mertua saya cukup kesal sehingga diskusi kami merembet ke masalah tidak profesionalnya birokrasi hingga masalah korupsi. Mengapa tidak dilakukan per kelurahan dengan jumlah undangan yang ditarget sejumlah tertentu dan waktu yang dibatasi? Pengaturan antrian pun tidak profesional sehingga membuat warga menunggu dalam ketidakpastian. Jika rumahnya dekat tidak masalah, namun bagaimana dengan warga yang rumahnya jauh dan kesulitan transportasi? maka terpaksa harus "setia" menunggu.
Kami masih belum mengerti mengapa tiga kelurahan digabung menjadi satu? apakah untuk efisiensi? pertanyaannya efisiensi apa? waktu? Justru waktu warga banyak terbuang karena menunggu dalam ketidakpastian. Efisiensi waktu petugas? Justru mereka menjadi korban karena sudah menjalankan tugasnya sejak pagi hingga malam dan kemungkinan sampai pagi lagi. Jika jawabannya efiensi anggaran, malah menimbulkan pertanyaan jangan-jangan proses seperti ini --menggabungkan tiga kelurahan-- merupakan salah satu modus korupsi, namun saya tidak ingin berpikir terlalu jauh tanpa ada bukti yang kuat. Tak dipungkiri diskusi-diskusi informal seperti ini mewarnai suasana di malam itu.