Lihat ke Halaman Asli

Wardi Sang Penakluk Laut yang Selalu Bersyukur

Diperbarui: 11 Juni 2016   12:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pemandangan kapal-kapal yang sedang bersandar di Kampung Nelayan, Cilincing, Jakarta Utara. Foto milik penulis, di ambil pada 30 Maret 2016

Di Indonesia, tepatnya di Ibu Kota Jakarta, tempat segala kemewahan bisa terpenuhi, hiruk pikuk aktivitas tiada henti. Begitu pula di daerah Kampung Nelayan, Cilincing, Jakarta Utara. Pukul 3 dini hari para nelayan sudah membuka matanya dari tidur lelap mereka, mengisi solar, menyiapkan makanan selama berlayar, menyiapkan jaring untuk keberangkatan mereka ke tengah laut saat tepat pukul 4 dini hari. Melawan angin yang ada di hadapan mereka, meninggalkan buih di belakang mereka. Menuju ke tengah laut dengan membawa secercah harapan untuk keluarga mereka di rumah.

Saat itu tepat pukul 11, terik matahari sedang sengat-sengatnya. Akses ke Kampung Nelayan tidaklah mudah, perjalanan ini pun ditemani oleh pengisi jalan raya yang sudah tidak asing lagi, yaitu kontainer. Maklum, Kampung Nelayan ini dekat dengan Pelabuhan Marunda. Melewati Krematorium, berjalan sedikit ke arah Pura Segara, tepat di belakangnya terhampar luas lautan dengan hiasan kapal-kapal yang terlihat mengecil dan berdempetan dengan Pura Segara terdapat berderet rumah-rumah penduduk para nelayan.

Ku berjalan menuju rumah para nelayan, rumah tersebut sudah permanen dengan tembok yang di cat dan lantai berkeramik, banyak pula warung kelontong tempat para nelayan biasa berutang untuk kebutuhan makanan diatas kapal. Ada pula gubug reyot yang di buat seadanya dari bambu dan tripleks berdiri di pinggiran tempat kapal bersandar, tempat para nelayan beristirahat sehabis melaut. Warna-warni kapal bak festival tahunan dengan bendera Indonesia di atasnya menambah keelokan tersendiri bagi mereka yang memandangnya. Tetapi jangan harap melihat keindahan pada air tempat kapal itu bersandar. Bahkan kambing dan ayam pun bisa berdiri di dekat kapal karena tumpukan sampah yang menggunung sehingga menciptakan daratan baru tempat kambing dan ayam tersebut berdiri.

Wardi (23) namanya, seorang pria yang kulihat sedang bersantai di gubug reyot itu bersama teman-temannya. Ia sudah melaut di Jakarta sejak ia berusia 12 tahun. Wardi hanya menempuh pendidikan hanya sampai kelas 6 (enam) Sekolah Dasar (SD), ayahnya yang juga nelayan tidak mampu membiayai sekolah Wardi ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), maka ia dan ayahnya menjadi tulang punggung keluarga bagi ibu, kakak dan adiknya. Wardi bukan orang asli Jakarta, ia orang asli Indramayu, Jawa Barat. Wardi dan keluarganya datang ke Jakarta sejak tahun 2005 silam.

Dengan logatnya yang ngapak ia bercengkerama dengan sesama nelayan lainnya di gubuk tersebut, percakapan itu dibalas pula dengan logat ngapak, ternyata ratusan nelayan lain pun berasal dari Indramayu, Jawa Barat.

Wardi bercerita mengapa ia bermigrasi dari Indramayu ke Jakarta, ternyata alasannya adalah ayahnya yang memang seorang nelayan di Indramayu merasa bahwa hasil tangkapannya sangat sedikit dibandingkan dengan hasil tangkapannya di Jakarta. Ia menambahkan, “Ikan di Indramayu sedikit sekali, Mbak, untuk ditangkap. Pas ikan itu dijual, uangnya gak mencukupi. Untuk makan aja gak cukup, apalagi untuk sekolah, Mbak. Yaudah jadinya saya sekeluarga pindah ke Jakarta.” Wardi melanjutkan, “Pas pindah ke Jakarta, pengen sih saya sekolah lagi, tapi saya mutusin buat bantu bapak aja, kalau saya kerja kan Bapak jadi gak terlalu capek harus melaut setiap hari dan uangnya bisa buat sekolah adik saya.” Ternyata adik Wardi bisa melanjutkan sekolah sampai Sekolah Menegah Pertama (SMP), tetapi tidak dapat melanjutkan sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) walaupun sekolah SMA di Jakarta gratis, keluarga Wardi merasa berat jika harus membayar uang seragam, buku, peralatan tulis dan lain-lain.

Orang tua Wardi bekerja sebagai nelayan (ayah) dan sebagai ibu rumah tangga (IRT). Keluarga Wardi memiliki sebuah kapal bekas yang dulu bapaknya beli seharga Rp 30.000.000 (dengan pembayaran dicicil jika ada uang dan sekarang sudah lunas). Dengan muatan kapal 1-2 kwintal ikan. Kapal bekas itu dibeli sudah lengkap dengan mesinnya dan 2 jaring di atas kapal. Pokoknya sudah siap sedia peralatannya dan siap melaut. Kalau kapal baru, harganya lebih mahal yaitu Rp 80.000.000. Harga yang mahal ini dikarenakan kayu yang digunakan masih baru dan mesin yang digunakan pun juga masih baru.

Satu kapal ketika melaut biasanya berisi 3-4 orang. Karena kapal milik keluarga Wardi hanya satu, jadi Wardi dan Ayahnya berangkat bergantian, hari ini Ayah Wardi dan kawan-kawan, besoknya Wardi dan kawan-kawan melaut. Menurut Wardi, kapal tradisional tidak memerlukan ijin untuk melaut, ketika melaut pun banyak polisi laut di perbatasan, namun mereka tidak pernah diminta untuk melapor. Tangkapan ikan pun tidak dibatasi. Namun menurut Wardi walaupun tidak dibatasi, sekali melaut mereka paling tidak membawa 40-50 Kg dengan berbagai jenis ikan. Itupun jika cuaca sedang baik. Kalau cuaca sedang tidak baik, mereka lebih memilih tidak melaut, karena dengan pertimbangan saat cuaca buruk ikan di laut menjadi lebih jarang, dan pertimbangan lainnya adalah meminimalisasi pengeluaran operasional kapal saat melaut dibandingkan dengan hasil tangkapan jelas akan merugi karena biaya operasional jauh lebih besar.

Penghasilan sebagai nelayan tidak menentu, biasanya sehari dapat Rp 80.000,- penghasilan ini mereka dapat dari bos mereka. Bos inilah yang menjual ikan ke penjual ikan di pasar-pasar. Ikan-ikan yang didapat seperti ikan kembung (Rp 20.000/Kg), ikan layur (Rp 17.000/Kg), dan ikan perek (Rp 1.500/Kg). Jika ikan kembung seharga Rp 20.000/Kg di nelayan, Bos bisa menjual Rp 35.000-Rp 40.000 ke penjual ikan di pasar. Saat itu, Wardi baru pulang melaut dan mendapat upah Rp 132.000 dari bosnya. Lebih banyak dari biasanya.

Kapal tradisional melaut dengan jarak yang diukur dengan jam kira-kira 2 (dua) jam lamanya. Berangkat pukul 4 dini hari dan pulang jam 12 siang hari. Kalau tidak ada ikan, pulang jam 9 pagi, karena kalau berlama-lama malah menghabiskan solar. Kapal tradisional melaut paling lama 3 (tiga) hari, tidak seperti kapal besar yang memerlukan waktu berbulan-bulan. Sekali melaut memerlukan modal maksimal Rp 150.000 – Rp 200.000. Modal tersebut antara lain mesin harus diisi solar 10 Liter dengan harga per liter Rp 6.000. Dan sisanya untuk membeli beras, sayuran dan gas untuk masak di atas kapal. Tentu saja mereka memerlukan makanan di atas kapal, mereka berangkat pukul 4 dini hari, para nelayan ini juga butuh sarapan.

Dengan penghasilan Rp 80.000 – Rp 150.000 per hari dan biaya operasional kapal sekali melaut Rp 150.000 – Rp 200.000 tentu saja ini yang dinamakan lebih besar pasak daripada tiang. Belum lagi Wardi harus membayar kontrakan rumah petak (tidak terlalu besar, begitu buka pintu langsung kamar tidur dan sudah ada toilet di dalam rumah) dengan harga sewa Rp 500.000 per bulan. Untung saja air dan listrik sudah ditanggung pemilik kontrakan. Tidak jarang para nelayan hutang dengan warung kelontong ketika membeli sembako karena tidak ada uang untuk membayarnya. Penghasilan Rp 80.000 – Rp 150.000 per hari mereka cukupkan untuk kehidupan sehari-hari sekeluarga yang harus dibagi lagi dengan biaya operasional kapal ketika melaut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline