Sebenarnya sudah sejak malam ketika anak saya menyampaikan kabar itu. Tak ada saksi mata selain pelaku yang entah siapa.
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi ketika saya akan menyapu dedaunan yang gugur di jalan. Saat saya harus menyapu sisi jalan yang lain, tampak pemandangan menjijikkan (bukan mengerikan), usus terburai dan lalat hijau sudah banyak mengerumuni korban tabrak lari tersebut. Ternyata dari semalam hingga pagi pukul tujuh lewat belum ada yang mengurus "jenazah"nya.
Tak perlu kusalahkan pelaku tabrak lari, tak perlu dan tak mungkin juga kusalahkan korban yang sudah tak bernyawa. Saya juga tak perlu lapor dulu ke Koordinator Keamanan Komplek. Kesempatan pertama saya urus dulu "jenazah" korban tabrak lari tersebut, meskipun TKP tidak di depan rumah saya.
Saya teringat dengan salah satu tulisan saya di Kompasiana, yang berjudul: Filosofi Penyerbukan, Masalah Sampah, Dan Komposter.
"Angin menerbangkan serbuk sari dan akan ada yang menempel di kepala putik tanaman jagung, baik di satu tanaman atau ke tanaman jagung lain. Bila jagung tetanggaku tak berkualitas, maka jagungku pun sangat mungkin akan tak berkualitas."
"Itulah petikan jawaban seorang petani jagung yang berhasil dengan jagung varietas unggulnya ketika diajukan pertanyaan, mengapa justru membagikan bibit jagung unggulnya ke para tetangga yang juga petani jagung, apakah tak takut akan tersaingi ?"
"Pelajaran yang sangat bernilai dari seorang petani bijak yang mampu menangkap "pesan alam", mengelola "ego" nya dan mengemasnya menjadi kompetisi dalam keharmonisan. Pelajaran yang sangat relevan dengan sisi kehidupan sosial manusia."
"... Relawan Peduli Komposter memang harus lebih proaktif, lebih intensif mengajak tetangga yang belum menggunakan Komposter, bila perlu lakukan "ekstra" layanan agar para tetangga MAU MULAI dan SELALU SIAP memandu mereka dalam menggunakan Komposter. In syaa Allah, yang sebelumnya masalah bisa menjadi berkah. Berkah bagi keluarga, tetangga dan lingkungan."
Tulisan saya tentang Filosofi Penyerbukan selengkapnya bisa dibaca Di Sini
Pagi itu saya urus tikus got yang mati sejak malam akibat terlindas kendaraan. Meskipun tidak di depan rumah saya dan tidak terkait dengan sampah rumah-tangga saya, karena sampah rumah-tangga saya sudah dipilah.
Keluarga saya juga sudah lebih dari tiga tahun menggunakan Tong Komposter untuk menampung dan mengolah sampah organik (sampah dapur). Dengan Tong Komposter sampah dapur tidak menebar bau busuk serta tidak mengundang lalat, tikus dan kucing liar.
Setiap kejadian bisa diambil hikmahnya. Tikus malang yang menjadi korban tabrak lari di dekat rumah saya, semakin menguatkan saya untuk tidak kendor (semangati diri), dan meneruskan saling berbagi pengalaman, kejar manfaat hindarkan mudharat.