Pernahkah anda mengamati kejadian positif covid 19 di lingkungan RT/RW anda ? Paling tidak yang mudah diamati adalah penambahan, pengurangan dan kejadian meninggal dunia. Mungkin masih terbatas di pengamatan angka/kuantitatif dan kita kurang memperhatikan aspek kualitatifnya.
Dalam tulisan kali ini penulis mencoba menghadirkan testimoni warga terkait vaksin covid 19, yang mungkin dapat dijadikan bahan evaluasi terhadap data kejadian positif covid 19 di suatu wilayah. Namun sebelum lebih jauh dan mungkin ada yang mempertanyakan kompetensi penulis dalam hal konten tulisan ini, perlu penulis sampaikan niat penulis menayangkan tulisan ini.
Niat penulis lebih kepada mengabarkan dinamika sosial yang terjadi di masyarakat terkait pencegahan dan penanggulangan wabah covid 19 dan semoga bisa turut berkontribusi dalam menyukseskan program vaksinasi covid 19. Tentunya akan menjadi lebih bermanfaat bila nanti ada Kompasianer yang berkompeten dalam hal kajian ilmiah terkait vaksinasi mau memberikan tambahan wawasan pencerahan.
Jangan membayangkan tulisan testimoni panjang ya ?! Penulis singkat saja bahwa ada salah satu warga penyintas yang positif terpapar covid 19 dengan gejala ringan dan kembali normal setelah mengikuti prosedur isoman yang diterapkan. Terdata bahwa warga penyintas tersebut beserta keluarganya sebelumnya sudah divaksin lengkap 2 tahap.
Ada yang menarik dari ungkapan penyintas tersebut, yang mungkin luput dari perhatian bila kita hanya terpaku pada angka statistik penambahan dan pengurangan yang positif covid 19. Penyintas tersebut menyampaikan perumpamaan bahwa vaksin ibarat helm. Pada saat mengalami kecelakaan, helm menjadi perlengkapan untuk meminimalkan resiko fatal. Demikian juga vaksin covid 19 menjadi alat pelindung diri untuk meminimalkan resiko terpapar virus. Andaipun terinfeksi tidak mengalami perburukan.
Memang banyak warga di lingkungan RW dari penyintas tersebut yang juga terinfeksi virus covid 19 dan hanya mengalami gejala ringan serta kembali normal setelah menuntaskan waktu isoman. Total warga yang terinfeksi covid 19 dalam satu RW di lingkungan penyintas tersebut mencapai lebih dari seratus orang, termasuk lebih dari 30 orang dari lingkungan RT penyintas tersebut.
Meskipun sebagian besar hanya bergejala ringan, namun beberapa tetangganya tidak tertolong, meninggal dunia dan harus dimakamkan dengan protokol covid 19. Tanpa prosesi penghormatan terakhir di lingkungan karena dari Rumah Sakit harus langsung ke pemakaman khusus covid 19.
Penganalogian vaksin sebagai "helm pengaman" kiranya patut disikapi sebagai upaya ikhtiar proaktif untuk tidak terpapar atau meminimalkan resiko bila ternyata terinfeksi covid 19. Apakah orang yang merasa sehat dan tidak berstatus komorbit dapat dipastikan tubuhnya mampu segera membentuk antibodi melawan virus covid 19?
Mungkin nanti ada kompasianer yang berkompeten bisa berbagi tulisan untuk jawaban atas pertanyaan tersebut. Namun pada kesempatan ini penulis perlu mengapresiasi dan salut untuk mereka yang menyegerakan dengan keputusan memakai "helm" (baca : vaksin), karena itu tidak hanya sebagai upaya melindungi diri tetapi juga menjadi bentuk kepedulian terhadap lingkungan. Sikap proaktif yang mencerminkan keterlibatan dalam ikut memutus mata rantai penyebaran virus covid 19.
Orang yang sudah vaksin dan yang pernah terpapar covid 19 memang masih mungkin kembali terpapar, namun upaya segera mengikuti program vaksin menjadi penting sebagai bagian dari proses ikhtiar. Karena bila berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan wabah penyakit menular, kewaspadaan dan kesadaran kolektif menjadi sangat penting.
Sekali lagi salut untuk warga masyarakat yang peduli dan mematuhi protokol kesehatan serta menjawab ajakan mengikuti vaksin covid 19 dengan proaktif menyegerakannya.