"Semua Belanda Musti Mati". Perjumpaan saya dengan kalimat itu terjadi pada sebuah malam di bulan Januari tahun 2023. Saat itu saya sedang begadang mengartikan arsip-arsip lembaga Sekretariat Negara (Algemeine Secretarie) Hindia Belanda yang saya dapatkan dari Arsip Nasional RI. Tema penelitian Tugas Akhir saya mengenai resolusi konflik dari Gedoran Depok, sebuah konflik bersenjata di pada awal Revolusi Nasional Indonesia (1945-1946) mengharuskan saya berkutat dengan arsip-arsip usang laporan politik keadaan keamanan pulau Jawa pada kurun waktu akhir 1945 hingga awal 1946 dari sudut pandang militer Belanda.
Kalimat itu muncul dalam Lampiran No. 6 dari surat bernomor 913/APWJ yang ditulis oleh para anggota Komite Kamp Beatrix, sebuah kompleks pengungsian yng dikelola tentara Sekutu di kawasan Kedunghalang, Bogor Jawa Barat kepada Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes Hubertus "Huib" van Mook. Mayoritas isinya mendokumentasikan pengalaman para penghuni kamp yang diungsikan maupun mengungsi dari rumah mereka di sekitar kota Bogor, menyusul gelombang kerusuhan yang melanda Karesidenan Bogor pada awal bulan Oktober 1945.
Ada banyak pengalaman yang sebenarnya memiliki pola yang sama: Pada tanggal 11-12 Oktober, pihak Badan Keamanan Rakjat (BKR) yang merupakan satuan paramiliter dari Republik Indonesia mengangkut para pria dan anak laki-laki dari rumah mereka, disusul dengan peringatan bahwa akan ada gelombang perampokan yang menyasar kawasan dimana mereka tinggal.
Kemudian, kita akan mencapai titik konflik, dan kisah mereka dapat bervariasi: pada hari berikutnya sebagian akan bercerita bahwa mereka dipaksa menyerahkan harta benda yang mereka miliki oleh pihak perampok ketika hendak mengunjungi sanak-saudara mereka yang ditahan di penjara Paledang di kota Bogor; lainnya akan bercerita bahwa mereka dipaksa menyaksikan gerombolan rampok merampas harta benda mereka di dalam rumah.
Memasuki bagian resolusi, muncul pihak-pihak yang bersedia menawarkan jalan keluar, baik dari satuan BKR setempat yang mengusir para perampok maupun anggota pasukan Inggris yang akhirnya turun tangan. Kisah selalu berakhir dengan bagian koda, dimana para penyintas memutuskan mengungsi ke Kamp Beatrix, dan pada beberapa kasus, para korban akan bercerita tentang nasib harta-benda yang dijarah, data mengenai kerugian material, maupun pihak-pihak yang dianggap bertanggungjawab. Lantas apa kaitannya dengan tulisan ini?
Konflik Politik
Kalimat "Semoea Blanda Moesti Mati" (Semua Belanda Harus Mati dalam ejaan lama) sebenarnya kata-kata yang tidak istimewa. Bagi khalayak umum yang awam mengenai sejarah, mungkin kalimat ini hanya diinterpretasikan sebagai sebuah ekspresi dari nasionalisme Indonesia. Namun pada tahun 1945 hingga 1949, kalimat ini, bersama dengan testimoni-testimoni atas kekerasan yang terjadi di Jawa dan Sumatera pada awal 1946 menjadi pembenaran bagi pemerintah Belanda bahwa mereka harus "menjinakkan" Jawa dan Sumatera lewat operasi-operasi militer guna meredam gerakan kemerdekaan Indonesia yang semakin melambung semenjak Proklamasi 17 Agustus 1945.
Argumen yang digunakan ialah bahwa Republik Indonesia adalah sebuah pemerintahan boneka yang dibangun tokoh-tokoh politik yang bekerja untuk Jepang dan digerakkan oleh kebencian terhadap orang Eropa sebagai akibat dari indoktrinasi dan propaganda militer Jepang selama Pendudukan Jepang (1942-1945). Maka daripada itu, adalah tugas dari pemerintah Belanda untuk menegakkan "Keamanan dan Ketertiban" (rust en orde) atas Indonesia yang sedang bergejolak.
Muncullah Agresi Militer Belanda I (Juli-September 1945) dan Agresi Militer II (Desember 1948) sebagai bentuk dari penegakan "keamanan dan ketertiban" tersebut.
Militer Jepang memang memiliki andil dalam menaikkan sentimen anti-barat di kalangan rakyat Indonesia (Van Dijk, 2002).
Indoktrinasi ini utamanya diarahkan kepada para penganut agama Islam selaku kelompok agama mayoritas. Indoktrinasi umat Muslim oleh Jepang dianggap penting untuk membantu mobilisasi massa maupun kepentingan propaganda (Benda, 1958). Hal ini kemudian ikut memengaruhi pada sikap rakyat Indonesia, khususnya mereka yang berasal dari kelompok Inlandsche Bevolking atau Bumiputera, untuk membenci orang-orang Eropa, Indo-Eurasia, Tionghoa, Manado dan Ambon. Dengan kata lain, boleh membenci siapapun asal bukan Jepang (Sjahrir, 1968).
Kebencian ini sendiri seakan memberikan pembenaran bagi pihak Belanda bahwa yang mereka lawan adalah musuh-musuh yang konkret bagi masyarakat dunia pasca Perang Dunia Kedua. Pada masa itu para pendukung Republik kerap dicap Belanda sebagai kaum fasis, ekstrimis agama dan perampok (Van Dijk, 2002; Oostindie, 2016).